Pada suatu masa yang penuh misteri, kastil Regalia Tenebris berdiri kokoh sebagai simbol kekuasaan di tengah kegelapan. Dipimpin oleh Fenrir Tenebris, sang raja yang ditakuti, kastil ini menyimpan banyak rahasia, termasuk tragedi kelam yang menimpa keluarga kerajaan. Sepuluh tahun lalu, pada malam yang diterangi bulan purnama, Fenrir—dengan mata biru yang menyala penuh kebencian—melakukan tindakan yang meninggalkan luka di hati setiap penghuni kastil: ia membunuh istrinya sendiri, Lady Elara, saat ia melahirkan putra mereka, Rinther Tenebris. Kecurigaan Fenrir terhadap perselingkuhan Elara dengan kepala pelayan kerajaan telah mengoyak hatinya, dan dendam itulah yang membuatnya melakukan tindakan keji tersebut.
Rinther, yang kini telah tumbuh menjadi pemuda tampan dengan mata biru cerah seperti ibunya, adalah pengingat abadi bagi Fenrir akan pengkhianatan Elara. Namun, berbeda dari sang ayah yang dipenuhi kebencian, hati Rinther terselimuti oleh rasa ingin tahu dan keinginan untuk lepas dari cengkeraman kelam yang menyelimuti kehidupannya. Tanpa mengetahui sejarah keluarganya sepenuhnya, ia tumbuh dalam kesepian dan keheningan kastil, hanya ditemani bisikan dan tatapan takut dari para pelayan.
Di antara para pelayan tersebut, ada seorang pemuda bernama Arthorien yang selalu memperhatikan Rinther dengan penuh belas kasih. Meskipun tidak pernah mendapatkan tanggapan hangat, Arthorien tak pernah menyerah. Ia kerap membawakan makanan dan berusaha menghibur Rinther dengan cerita tentang keindahan Sungai Celestria, yang terletak tak jauh dari kastil, berharap bahwa sang pangeran akan menemukan ketenangan di sana.
Suatu malam, karena tak bisa tidur, Rinther memutuskan untuk mendatangi sungai tersebut, terpikat oleh cerita Arthorien. Saat ia tiba, keindahan Celestria yang berkilau di bawah sinar bulan menenangkan jiwanya yang tertekan. Tanpa sadar, ia tertidur di tepi sungai, dikelilingi oleh kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Pagi harinya, Arthorien datang dan melihat Rinther tertidur lelap. Dengan lembut, ia membelai rambut sang pangeran, merasakan hangatnya harapan di dalam hatinya agar Rinther dapat terbebas dari bayangan masa lalu yang menyesakkan.
Namun, ketika Arthorien hendak menarik tangannya, Rinther terbangun dan menangkap tangan Arthorien dengan cepat. Tatapan dingin Rinther menusuk, membuat Arthorien merasa bersalah dan menunduk, takut akan kemarahan sang pangeran. Tetapi, alih-alih marah, Rinther malah bertanya, "Siapa namamu?"
“Arthorien,” jawab pemuda itu, suaranya bergetar karena gugup.
Rinther melepaskan tangannya dan menatap Arthorien dengan ekspresi yang sulit diartikan. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, Rinther berbalik dan meninggalkan Arthorien, kembali ke kastil dengan perasaan yang campur aduk. Keheningan pagi dan keindahan sungai itu seolah memanggil kembali kenangan akan ibunya, perasaan yang ia tutup rapat dalam hatinya.
Beberapa hari berlalu dalam kesunyian yang canggung, hingga suatu saat Arthorien masuk ke kamar Rinther untuk membersihkan. Namun, saat ia sedang merapikan ruangan, Rinther tiba-tiba muncul dan menutup pintu di belakangnya, membuat Arthorien tersentak. Rinther mendekatinya perlahan, dan Arthorien mencoba mundur, tetapi berhenti saat tubuhnya menabrak lemari. Dengan satu tangan di lemari dan tangan lainnya mengangkat dagu Arthorien, Rinther menatapnya dalam-dalam.
“Kau selalu ada di sini. Selalu ada untukku. Mengapa?” tanya Rinther, suaranya nyaris seperti bisikan.
Arthorien merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menjawab dengan lirih, “Karena aku melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu, Pangeran Rinther. Aku tahu bahwa di balik kegelapan ini, kau adalah harapan untuk membawa kedamaian ke Regalia Tenebris.”
Kata-kata itu menggantung di udara, dan sejenak keheningan menyelimuti mereka. Namun, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, membuat keduanya tersentak. Rinther membuka lemari besar di samping mereka dan, tanpa pikir panjang, mendorong Arthorien masuk ke dalam bersama dirinya untuk bersembunyi.
Di dalam lemari besar dan sempit itu, kesunyian terasa begitu pekat. Dalam kegelapan, Rinther dapat merasakan kehadiran Arthorien begitu dekat, hampir dapat mendengar napasnya yang sedikit terburu-buru. Ruang yang terbatas membuat mereka berdiri nyaris bersentuhan, dan meskipun keheningan menyelimuti, ketegangan di antara mereka begitu jelas terasa.
Rinther, yang awalnya berniat sekadar menyembunyikan diri dari pandangan penjaga kastil yang baru saja mengetuk pintu kamarnya, kini merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Di sampingnya, Arthorien tampak sedikit gelisah, tak mampu menghindar dari kehadiran sang pangeran yang seakan menyerap seluruh ruang di dalam lemari itu.
Sebuah perasaan baru muncul dalam diri Rinther. Awalnya, ia merasa perlu menekan perasaan yang sering ia pendam—perasaan takut, kesepian, dan ketidakpercayaan pada siapa pun di kastil ini. Namun, kehadiran Arthorien seakan membawa kehangatan yang memecah kebekuan dalam dirinya, membuatnya ingin mengungkapkan sisi dirinya yang paling rapuh.
Dengan perlahan, tangan Rinther yang semula berada di samping tubuhnya terangkat, menyentuh wajah Arthorien dalam keheningan. Jemari dingin sang pangeran menyentuh pipi pemuda itu, membuat Arthorien sedikit tersentak namun tidak menolak. wajahnya pun mulai mendekat. menempelkan bibirnya pada bibir Arthorien. pemuda kecil itu hanya menikmati dan merasakan pergerakan intens dari sang pangeran. agar tidak terkesan dia sedang menikmati Arthorien berusaha mendorong pelan tubuh Rinther. namun Rinther malah semakin mendesak dan mempercepat tempo untuk melahap habis bibir Arthorien tanpa ampun sehingga Arthorien kesulitan bernapas. "ahh panghh eummm" mendengar desahan itu pun Rinther semakin menggila. iaa berusaha untuk bisa memakan pria kecil ini yang berani sekali membuat dirinya semakin bergairah. "tanggung jawab Arthorien" katanya disela sela di mencium habis semua wajah Arthorien. Dalam kegelapan, hanya pakaian pangeran Rinther lah yang berbicara.
Ketika suara langkah di luar pintu menghilang, Rinther membuka pintu lemari dengan hati-hati. Ia menatap Arthorien dalam-dalam sebelum berkata, “Mungkin, di masa depan, aku akan membutuhkanmu lebih dari yang pernah kubayangkan.”
Malam itu menjadi awal dari perubahan yang lambat namun pasti. Arthorien terus hadir di sisi Rinther, mengajarkan pangeran itu untuk membuka hati dan menghadapi masa lalu tanpa rasa takut. Sedikit demi sedikit, kegelapan di Regalia Tenebris mulai pudar, digantikan oleh harapan yang dibawa oleh kebersamaan mereka.
Namun, bayangan masa lalu tetap menghantui. Dendam Fenrir, kebencian yang mendalam pada darah pengkhianat yang mengalir dalam tubuh Rinther, masih mengancam kedamaian yang baru mulai tumbuh. Arthorien, yang kini memiliki tempat di hati Rinther, sadar bahwa tugasnya belum selesai. Bersama, mereka berencana mengungkap kebenaran di balik kematian Elara, untuk menantang Fenrir, dan untuk mengembalikan kerajaan dari kegelapan yang telah menyelimuti selama bertahun-tahun.
Dalam perjalanan mereka yang penuh bahaya, Rinther dan Arthorien menemukan bahwa mereka tidak hanya saling membutuhkan untuk mencapai tujuan mereka, tetapi juga telah menjadi bagian tak terpisahkan satu sama lain. Pertemuan mereka bukan hanya tentang mengubah kerajaan, tetapi juga tentang menemukan harapan dan cinta di tengah bayang-bayang kelam masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan di Antara Tembok Kastil
FantasiDi balik tembok megah Regalia Tenebris, sebuah kastil yang diselimuti oleh legenda kelam, tumbuhlah Rinther Tenebris, putra dari Raja Fenrir yang kejam. Terlahir dari tragedi pengkhianatan, Rinther hidup dalam bayang-bayang dendam sang ayah, terisol...