Haii, untuk flashback yang ini agak panjangan dikit, jadi aku ga pake italic, okay?
*****
21. Dijodohkan [Galen Flashback]
•HAPPY READING•
*****
Flashback...
Galen pernah dihakimi karena membela diri, Galen pernah dimaki karena ketidaksengajaan yang ia perbuat.
Galen selalu dituntut menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Bagai robot yang tak mengenal lelah, Galen terus saja diforsir untuk menuruti keegoisan kedua orang tuanya bahkan harus merelakan impiannya. Dituntut menjadi sempurna tanpa celah, mengembangkan marga Darmendra agar menjadi jauh lebih baik.
Tubuhnya lemas kaki serta tubuhnya gemetar namun tetap ia paksa berdiri mengesampingkan rasa sakit yang terus menjulur di seluruh tubuhnya.
Tangan yang dulu pernah membelai lembut rambutnya, mengajarkannya berjalan hingga berlari, kini berganti dengan kilat tanpa ampun. Tangan Danubara melayang, merobek ujung bibir Galen tanpa belas kasihan sedikitpun. Pipinya terbakar, seolah tersambar petir yang tak terlihat. Pandangannya rasanya berputar meninggalkan kesunyian memekakkan telinga di antara mereka berdua.
Katherine menatap kosong kearah anak satu-satunya, tak sedikitpun berniat melerainya.
Pada umumnya, anak kecil memiliki pola pikir yang mengikuti apa yang diajarkan padanya. Orang tua adalah sekolah pertama bagi anak, bagaimana cara mendidik orang tua-lah yang akan menentukan karakter dari seorang anak tersebut.
Di didik keras sejak kecil, belajar, belajar, dan belajar. Satu kesalahan maka akan dibalas pukulan. Itulah yang diajarkan Danubara pada putra tunggalnya. Dari sini bisa di tebak, bagaimana karakter Galen tumbuh. Menjadi sosok yang sama kerasnya seperti sang Ayah, menginginkan kebebasan yang tak mungkin dalam hidupnya.
Cowok itu berdiri. Menatap kosong pria di depannya, berdecih kala ujung bibirnya sudah robek dengan lebam di daerah mata kanannya. Kepalanya mendongak dengan kaki dan punggung yang tak kalah tegap. Seolah tertantang, Danubara kembali melayangkan pukulan di pipi kiri anaknya.
Lagi, tubuh Galen terjatuh. Pakaiannya penuh dengan noda merah, tubuhnya diam bak patung yang tak bergerak sama sekali.
"Papa sudah berjanji dengan Ayahnya Raya, jadi kamu harus menepatinya."
"Papa yang janji, kenapa harus aku yang repot-repot nepatin janjinya?"
Bugh!
Dan ya, satu bogeman lagi ia dapatkan.
"Tinggal nurut apa susahnya, hah?!"
"Ngomongnya, sih gampang, ya. Tapi nggak tau, deh nanti bisa nepatin beneran apa nggak."
"Galen Areksa!"
"Ck," Galen muak, benar-benar muak. Ia langsung melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar tidurnya dengan kondisi babak belur. Pedihnya, tubuhnya sama sekali tak terlihat lemas, masih tegak seperti biasa.
"Benar-benar," geram Danubara menatap kepergian anaknya.
"Hasil didikanmu," saur Katherine.
"Aku mengajarkannya begitu agar dia jadi anak penurut! Ini malah jadi pembangkang tanpa mengerti sopan santun," jawab Danubara sewot, jelas tak mau mengalah dan mengakui bahwa didikannya selama ini salah.
***
Galen mendudukkan dirinya di samping kasur. Tangannya terulur mengambil pisau di nakasnya. Darah, pisau itu sudah dilumuri darah. Galen sangat mengingat bagaimana semalam tangannya dengan sengaja menyiksa seekor hewan dengan pisau tersebut, sudut bibirnya terangkat sinis, kedua pupilnya menghitam. "Pembunuh, ya ..."
Flashback off...
***
Sore ini, Audya sudah berada di rumah memasakkan makanan untuk ke-empat anaknya. "Lho? Ayah nggak pulang sama Mama?" tanya Senna selagi memakan cemilan di depan TV.
"Nggak, Mama nggak tau Ayah kamu di mana."
Vano tersenyum miris menatap sang Ibu kemudian berpaling menuju kamarnya. "Pria gila itu ... Arghh, najis banget gue sampe punya bokap kaya begitu."
***
"Kurang ajar! Bagaimana kalian bisa lalai begini, hah?!" sentak seorang pria memantau komputer di depannya dengan menggebrak meja kerjanya.
"M-maaf bos, a-anak itu sepertinya sangat pintar. Kami tidak bisa mencari siapa pelaku sebenarnya. Semua kasus ini seperti di sembunyikan dengan apik," jawab salah satu asisten pribadinya sembari menundukkan kepala.
*****
Dorr, segini dulu bodo. Chapter berikutnya aku bikin kalian mumet (janji deh awogawog)
*****
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSEN - On Going
Teen FictionKehadirannya yang tak dianggap juga tak diharapkan, di cap sebagai anak haram bukanlah hal yang mudah dilewati bagi Arsen Brahmantara Mahendra. Remaja tak bersalah serta banyak kekurangan ini harus menerima hidup di keluarga dan lingkungan yang bisa...