Hael merasakan tubuhnya melayang, terombang-ambing di dalam kegelapan yang begitu pekat, seolah tidak ada ujungnya. Gelombang hitam yang tak terlihat menggulungnya, menariknya semakin dalam, menjauhkan dirinya dari segala yang pernah dikenalnya. Kegelapan itu dingin, sangat dingin, menusuk tulang dan menelan seluruh rasa, membuatnya semakin kehilangan arah dan harapan. Ia hanya bisa diam, terhanyut dalam kehampaan yang tak berkesudahan, seakan dunia sudah berhenti berputar.
Di tengah keheningan dan kegelapan itu, tiba-tiba terdengar sebuah suara lembut. Suara itu hangat dan menenangkan, seperti bisikan dari tempat yang sangat jauh namun terasa begitu dekat, seolah meresap hingga ke dalam hatinya.
"Hael..."
Suara itu membuat Hael terdiam. Siapa... siapa itu? pikirnya. Suara itu begitu asing, seakan bukan berasal dari seseorang, melainkan sesuatu yang lebih besar dari itu.
"Tenanglah, anakku," suara tersebut kembali terdengar, penuh kasih sayang, menenangkan setiap ketakutan yang melingkupinya. "Kau akan baik-baik saja. Semua akan berubah untuk kebaikanmu."
Hael mencoba bicara, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Dengan sekuat tenaga, ia akhirnya berhasil mengeluarkan suara, meski sedikit gemetar. "Siapa... siapa kau? Mengapa aku di sini?"
"Aku hanyalah sosok yang memberimu kesempatan kedua. Berbahagialah, Anakku. Kau pantas bahagia." Suara itu perlahan memudar, meninggalkan kehangatan yang masih terasa beresonansi dalam dirinya.
Begitu suara itu menghilang, Hael merasakan tubuhnya seakan tersedot ke dalam pusaran kuat yang menariknya semakin cepat dan dalam, hingga akhirnya—
Ia bagun dengan tubuhnya tersentak, dan napasnya yang terengah-engah. Matanya terbuka lebar, tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Ia duduk di atas ranjang, bingung dan cemas, seolah baru saja keluar dari kegelapan yang sangat mencekam. Tangannya meraba-raba dada, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Napasnya yang semula berat, perlahan mulai mereda, namun kecemasan itu tak juga hilang.
Dia meneliti sekelilingnya. Sebuah ruangan yang lebih besar dari yang ia kira, namun tetap terasa hangat dan nyaman. Di dekat ranjang, terdapat meja kayu berukir dengan permukaan sedikit tergores, menunjukkan usianya yang sudah puluhan tahun. Di atas meja itu, ada sebuah lilin pendek yang hampir habis terbakar, serta beberapa buku bersampul kusam yang tertumpuk dengan rapi. Di sudut ruangan, sebuah lemari kayu besar dengan pegangan besi yang sederhana namun kokoh, terlihat menambah kesan tua yang mendalam.
Di sisi lain, terdapat sebuah jendela besar dengan tirai tipis berwarna kelabu, yang membiarkan cahaya matahari yang lembut menyusup masuk, menari-nari di atas lantai kayu yang tampak usang. Jendela itu sedikit terbuka, memberi udara segar yang sejuk namun tidak terlalu menusuk. Lantai ruangan itu dilapisi dengan karpet lusuh yang warnanya hampir pudar, namun tetap terasa hangat saat langkah kaki kecil menyentuhnya.
"Apa... di mana aku?" gumamnya seraya memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
Seketika, kenangan terakhir sebelum dirinya tak sadarkan diri melintas kembali. "Bukankah... seharusnya aku sudah mati?" pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, penuh keraguan.
Dia mencoba menenangkan diri, namun detak jantungnya kembali berpacu saat melihat tangannya sendiri. Tangan itu kecil, bukan tangan remaja yang selama ini dikenalnya. Jemarinya mungil dan tampak rapuh. Kaget, ia segera memeriksa tubuhnya, menyadari bahwa tubuhnya benar-benar mengecil seperti anak kecil.
"Celmin... Aku butuh celmin!" ujarnya panik. Ia mengedarkan pandangan, mencari benda apa pun yang bisa memantulkan bayangannya. Setelah meneliti sekitar, ia melihat sebuah cermin berdiri di sudut ruangan, menempel pada dinding di samping lemari.
Ia beranjak dari ranjang, dan saat itu pula, tubuh kecilnya nyaris tergelincir. "Cial, kenapa tinggi Cekali!" keluhnya sambil berusaha turun dari ranjang yang baginya terasa terlalu tinggi. Dia memegangi selimut yang menjuntai untuk menahan tubuhnya saat menuruni ranjang. Begitu kedua kaki mungilnya menyentuh lantai yang dingin, ia meringis sedikit, namun segera berjalan menuju cermin, meski langkahnya tersendat-sendat karena kaki kecilnya.
Di depan cermin itu, ia terpaku. Wajah seorang anak laki-laki mungil dan kurus dengan kulit putih pucat tampak menatapnya. Mata anak itu berwarna ungu lilac, besar dan bulat, seperti kristal yang menawan. Rambutnya putih keperakan, menjuntai lembut di sisi wajah mungil itu.
Sosok ini...
"Ezekiel Calanthe..." gumamnya lemah, namun penuh keterkejutan.
Ia terdiam, dan kebingungan itu berubah menjadi ketakutan. 'Jangan bilang... aku bertransmigrasi ke tubuh Ezekiel Calanthe?'
Pikiran itu membuatnya bergidik, seolah mendengar lelucon yang tidak diinginkan. Namun, setiap kali ia menatap wajah kecil itu di cermin, kenyataan yang tak bisa ia sangkal kian menguat. Ia mencoba mengingat kembali detail dari novel yang terakhir kali dibacanya, The Scarlet Throne. Itu adalah novel fantasi yang penuh dengan intrik politik dan perebutan kekuasaan di sebuah kerajaan besar bernama Kekaisaran Calanthe.
Kekaisaran Calanthe adalah tempat penuh pengkhianatan, kudeta, dan pertumpahan darah. Dalam kisah itu, Ezekiel adalah anak yang dikucilkan, seorang pangeran yang sejak kecil hidup dalam bayang-bayang kematian. Ezekiel yang tak diinginkan, tak dihormati, dan dianggap sebagai ancaman. Seorang pangeran yang dituduh meracuni saudara kandungnya sendiri dan akhirnya dihukum mati pada usia yang sangat muda.
Dia menelan ludah, merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kenapa harus Ezekiel? Anak yang nasibnya begitu tragis?
Di dalam istana Kekaisaran Calanthe, lebih tepatnya di istana Mawar Hitam tempat tinggal ezekiel, di sana kehidupan Ezekiel benar-benar sulit. Di tempat ini, Ezekiel hanya diberi makan sepotong roti keras dan hambar setiap harinya. Hidupnya jauh dari kata layak, dan ia harus bertahan dengan tubuh yang semakin lemah dan kurus.
Para pelayan istana memperlakukannya semena-mena, menganggapnya sebagai sampah yang tak berharga. Mereka hanya bersikap baik jika Pangeran Keempat, saudara kembar Ezekiel, datang berkunjung. Saudara kembarnya, yang begitu mirip tapi juga begitu berbeda, selalu mendapat perhatian, cinta, dan kekuasaan yang tak pernah dimiliki Ezekiel.
Ketidakadilan itu membuat tubuh Ezekiel semakin melemah seiring waktu. Di usianya yang ketujuh tahun, tubuhnya yang kecil dan kurus tampak lebih kecil dari seusianya. Wajahnya pucat, matanya cekung, dan rambut peraknya kusut karena kurangnya perawatan. Pangeran yang dikucilkan ini hidup tanpa harapan, seperti menanti kematian yang lebih baik daripada hidup tanpa keadilan.
"Jadi... cekalang aku Ezekiel Calanthe?" gumamnya pelan, namun menggema dalam ruangan sunyi itu. Sungguh nasib yang lebih buruk dari kematian, pikirnya getir. Tidak ada jalan kembali ke dunia asalnya, tidak ada pilihan lain selain hidup dalam tubuh pangeran yang terbuang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ezekiel: A Changed Destiny
FantasyHael, seorang pemuda yang hidup dengan penyakit yang tak bisa disembuhkan, akhirnya meninggal di usia 17 tahun. Namun, bukannya pergi ke alam baka, ia terbangun dalam tubuh Ezekiel Calanthe, seorang tokoh figuran dalam novel yang berakhir tragis. De...