18 Desember 2022 menjadi hari yang tak terlupakan bagi jutaan penggemar sepak bola di seluruh dunia. Di Stadion yang berada di Doha yang megah di Qatar, suara gemuruh penonton memenuhi udara. Sorak gembira bercampur tangis haru menyelimuti suasana, merayakan kemenangan Argentina di final Piala Dunia. Pertandingan epik itu menjadi saksi kehebatan Leonardo Medinassi dan kawan-kawan yang berhasil menaklukkan Prancis lewat adu penalti dramatis.
Bagi sebagian orang, hari itu adalah hari istimewa. Namun, bagiku, Ryusui Graziano, seorang remaja berusia 13 tahun, hari itu menjadi momen yang menginspirasi. Aku duduk terpaku di depan layar televisi, merasakan setiap detak permainan dengan jantung yang berdegup cepat. Di sampingku, kakakku, Ramadante Graziano, dengan penuh antusias menganalisis jalannya pertandingan.
"Kau lihat itu, Ryusui?" ucap Ramadante sambil menunjuk ke layar, di mana Medinassi menggiring bola dengan kecakapan luar biasa. "Itulah seni sepak bola. Jika kau ingin seperti mereka, kau harus berlatih lebih keras."
Kakakku adalah idolaku. Ramadante dikenal sebagai pemain muda berbakat di Italia, terutama dalam hal menggiring bola dan melakukan tendangan jarak jauh. Di usia 18 tahun saat itu, dia telah menjadi bagian dari pemain inti tim sebuah klub terkenal yang baru terdegradasi dari liga utama italia. Aku iri sekaligus kagum. Karena itulah, sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak hanya menjadi penggemar sepak bola, tapi juga seorang pemain yang layak diperhitungkan.
---
Dua tahun berlalu, Pada 11 Januari 2024, adalah awal dari segalanya. Aku, Ryusui Graziano, bersama sahabatku, Adrian Nataniele, melangkah menuju Akademi Sepak Bola Rome, tempat di mana mimpi-mimpiku akan diuji.
Kami berdua diantar oleh orang tuaku, Rudolpho dan Perla Graziano dari Milan ke Roma. Ayahku, seorang pria dengan perawakan tegas namun berhati lembut, tampak gelisah. Sepanjang perjalanan menuju akademi, ia beberapa kali menghela napas panjang.
"Ryusui, kau pasti bisa," ucapnya lirih, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Ibuku, Perla, yang duduk di sebelahnya, meraih tangannya dan berkata dengan lembut, "Jangan khawatir, Rudolpho. Anak kita memiliki bakat. Doakan saja agar ia sukses seperti Ramadante."
Mobil kami berhenti di depan gerbang besar yang megah. Tulisan "Akademi Sepak Bola Rome" terpampang jelas di atas gerbang itu. Aku menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku. Adrian di sebelahku menepuk pundakku sambil tersenyum.
"Ini saatnya kita menunjukkan apa yang kita miliki," katanya penuh semangat.
Setelah berpamitan, aku dan Adrian melangkah masuk ke kawasan akademi. Di sana, aku disambut oleh deretan bangunan modern yang dikelilingi lapangan hijau nan luas. Para pemain muda lainnya sudah berkumpul di aula utama, menunggu pengarahan dari pelatih.
Di hadapan kami berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan rambut hitam yang mulai memutih di beberapa bagian. Ia adalah Patria Primo, kepala pelatih Akademi Rome yang. Dengan suara lantang, ia memulai perkenalan.
"Selamat datang di Akademi Rome," katanya. "Di sini, kalian tidak hanya akan belajar menjadi pemain sepak bola yang hebat, tapi juga manusia yang memiliki karakter. Saya tidak mencari pemain terbaik. Saya mencari pemain yang mau belajar, bekerja keras, dan tidak pernah menyerah."
Ryusui dan Adrian bergantian memperkenalkan diri.
"Perkenalkan, nama saya Ryusui Graziano," kataku dengan suara yang sedikit gemetar namun penuh keyakinan.
"Dan saya Adrian Nataniele," sambung Adrian.
Tepuk tangan menggema di aula. Di antara para pemain lain, Ryusui bisa merasakan tatapan penilaian. Beberapa tersenyum ramah, sementara yang lain terlihat skeptis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Four Three Three
AdventureRyusui Graziano, remaja berusia 13 tahun, bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional setelah melihat kemenangan Argentina di Piala Dunia 2022. Bersama sahabatnya, Adrian Nataniele, ia bergabung dengan Akademi Sepak Bola Rome, tempat ia berla...