Chapter 25: Kejutan dari Semesta

79 4 0
                                    

Awal tahun yang seharusnya menjadi bulan santai dan menyenangkan, agaknya sedikit menegangkan kali ini. Bagaimana bisa, berita harga cabe yang belum juga turun tiba-tiba menjadi tidak lebih istimewa dari berita antrean pembelian masker yang mengular. Sampai-sampai, masker medis dan hand sanitizer menjadi jenis barang langka. 

Tetapi yang lebih menyesakkan, adalah kenyataan bahwa semua manusia yang ingin tetap hidup harus bersedia mengurung diri di rumahnya. Termasuk aku dan seluruh karyawan Momenta yang sedang gundah dengan keberlangsungan perusahaan.

Bekerja secara daring memang terdengar menyenangkan, terlebih karena aku tidak perlu ribut berangkat ke kantor pagi-pagi. Tapi kupikir ini juga bukan hal yang bagus untukku. Aku mulai merindukan tingkah Evo yang menyebalkan, Mirna yang ceria tapi kerap lamban, Teh Sarah yang selalu hangat, Reno, Pak Dedi. Ah! Duniaku tiba-tiba berubah menjadi hanya sekotak dalam empat bulan. Sempit.

Dan manusia bernama Biyan itu, entah bagaimana kabarnya. Sejak kejadian pagi itu, aku tak pernah lagi mengetahui apa pun tentangnya. Kupikir aku menjadi prioritas baginya sejak kutahu dia menyimpan fotoku selama dua dekade. Nyatanya, enam bulan tidak terhubung denganku sama sekali tak mempengaruhinya. Bahkan, disaat kondisi pandemi yang mencekam seperti ini pun dia tak mengkhawatirkanku.

"Dasar berengsek!" umpatku.

Ponsel berdenting, tanda sebuah pesan WA masuk. Aku segera membukanya.

HRD Pusat: Pemberitahuan kepada seluruh staf dan karyawan MOMENTA Cabang Bali. Sesuai dengan kebijakan kantor pusat terkait penutupan kantor cabang Bali, maka dari itu kontrak kerja seluruh karyawan yang bekerja di bawah kantor cabang Bali tidak diperpanjang. Berikut terlampir dokumen surat pemutusan kontrak kerja.

HRD Pusat: Surat Pemutusan Kontrak Kerja.doc [download]

Mataku tenggelam dalam layar ponsel. Aku membaca pengumuman itu berulang-ulang untuk memastikan apa yang kupahami tak keliru. Rasanya aku tak ingin percaya bahwa wabah virus yang memporak-porandakan tatanan dunia saat ini, juga benar-benar memporak-porandakan hidupku dan masa depanku.

Ponsel kembali berdenting. Kubuka kembali aplikasi pesan WA yang baru saja kututup.

Mirna created group "PHK"

Mirna added you

Mirna added Teh Sarah

Mirna: Udah baca WA dari HRD pusat?

Reno is typing...

Elliana: *emoji menangis 3x*

Evo is typing...

Reno: Gilak sih ini

Evo: <Elliana: *emoji menangis 3x*> balas: cup cup cup

Teh Sarah: Semangat!!! Sehat-sehat ya kalian semua *emoji cium*

Reno: Teh sarah mah santai aja ya, mas Al punya bisnis sendiri

Mirna: Iya, lah nasib kita gimana?

Evo: Kan lo di sini masih ada orang tua Mir

Evo: El, kamu rencananya gimana? Mau pulang kampung?

Reno: <Mirna: Iya, lah nasib kita gimana> balas: Kamu kan masih ada orang tua di sini, nasib perantauan kayak aku yang gimana.

Elliana: <Evo: El, kamu rencananya gimana? Mau pulang kampung?> balas: Belum tahu. Kalau ada kerjaan ajakin aku dong Vo, plisss :(

Evo: <Elliana: Belum tahu. Kalau ada kerjaan ajakin aku dong Vo, plisss :(> balas: Iya, semoga masih ada kantor yang nyari karyawan.

Mirna: Aku juga mau dong Uda diajakin kerja

Evo: <Mirna: Aku juga mau dong Uda diajakin kerja> balas: Kerja aja belom udah minta diajakin kerja *emoji pusing*

Teh Sarah: Semoga pandemi segera berakhir ya guys, bisnis mas Al juga lagi kurang bagus. *emoji sedih 2x*

Elliana: Aamiin

Reno: Amen

Mirna: Amin

Aku mengempaskan bokong ke kasur. Kakiku terlalu rapuh untuk menanggung berita duka ini. Otakku berputar sangat cepat, namun apapun yang kupikirkan tak mampu menjawab kekhawatiranku.

"Apa nglamar kerja di tempat Biyan aja, ya?" pikirku pendek. 

Sisi hatiku yang lain menolak pilihan instan itu. Enam bulan aku berjuang untuk kukuh menjaga gengsi meski rindu nyaris membunuhku. Kupikir aku pantas melakukannya. Kenyataannya memang Biyan yang bermasalah, sudah sewajarnya jika dia lah yang seharusnya mendatangiku dan mengharap maafku. Tapi kenyataannya, NOL besar. Dia seakan lenyap ditelan virus.

"Jangan-jangan..." buah pikiranku menjadi-jadi. Terpikir olehku bahwa Biyan terpapar virus yang katanya mematikan itu. Aku mulai bergidik. Tapi kalau pun iya, apa yang bisa aku perbuat? Mendatangi rumahnya dan bertemu istrinya, lalu mengakui kalau aku sedang merindukan dan mengkhawatirkan suaminya? Kekonyolan macam apa yang sedang menjajah otakku.

Sebuah pesan WA terkirim untukku. Segera kubuka.

Evo: El, kayaknya aku bakalan pulang kampung deh.

Elliana: Serius?

Evo: Mama nyuruh pulang.

Elliana: Yahhh aku sendirian dong *emoji menangis*

Evo: Mau ikut?

Elliana: Kampret

Evo: *emoji tertawa*

Elliana: Kapan berangkat?

Evo: Minggu depan mungkin

Evo: Secepatnya sih, nunggu urusan dokumen dan tes Swab beres.

Elliana: *emoji menangis*

Elliana: *emoji menangis*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ramalan JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang