15. Kehilangan

7 0 0
                                        

Semesta selalu bercanda setiap harinya kepadaku. Bahkan sejak kecil aku sudah terbiasa dengan candaannya. Candaan yang bukan menghadirkan tawa, melainkan menurunkan air mata.

Kali ini semesta bercandanya terlalu berlebihan sampai rasanya tak lagi lucu. Duniaku yang memang sudah runtuh, kini runtuhannya seolah kembali di injak-injak agar merata dengan tanah.

Bagaimana cara memberitahu pada dunia kalau Sarah Syafira sudah tidak tersisa apa-apa?

Dengan kaki lemas layaknya jelly aku berlari, mengabaikan Nata yang terus memanggil dan bertanya ada apa, aku tidak peduli.

"Sarah!"

Tujuanku saat ini adalah kembali pada posisi mobil Bima berada. Bima di sana bersandar pada kap mobilnya, ketika melihatku berlari sembari menangis dia menghampiri ku dengan tergesa.

Karena sudah lemas, aku menjatuhkan tubuh pada Bima dan langsung dia tahan dengan sigap.

"Ada apa, Sarah?"

"Nata nyakitin kamu?"

Aku masih terus saja menangis. Ketika Nata berlari mendekat, Bima lebih dulu pasang badan.

"Nata yang bikin kamu nangis?" Bima bertanya, tapi pandangannya mengarah pada Nata.

"Antar aku kembali ke rumah sakit." Kata ku dengan susah payah.

Mencoba berdiri dengan tegak, aku berjalan sempoyongan ke hadapan Nata yang tengah menatapku dengan tatapan sendu.

Ku ambil satu tangan Nata, aku paksa dia berjabat tangan.

"Selamat, Nata Mahatma. Sekarang kamu sama dengan mereka, salah satu orang yang membuatku lebih sakit."

Setelah mengatakan itu, aku berbalik badan dan masuk ke dalam mobil Bima.

Mobil berputar arah, dari jendela aku bisa melihat Nata yang masih berdiri disana di temani Amara di sampingnya.

Tidak ada lagi yang tersisa. Dalam satu hari aku kehilangan segalanya. Membuka ponsel, dengan terpaksa aku mengirim ayah pesan.

"Sarah ada apa?" Bima bertanya, sambil sesekali pandangan nya melihat ke arahku dan juga jalan di depannya.

"Bunda meninggal."

Satu kata yang berhasil membuat Bima mengerem mobilnya mendadak, tapi tidak lama kemudian dia lajukan lagi karena di belakang banyak orang yang protes.

Bima tidak berkomentar, tapi wajahnya terlihat tegang dan juga laju mobil yang tadinya normal, kini aku rasakan semakin cepat.

Tidak ada obrolan apa-apa lagi, aku sibuk dengan tangis dan rasa tidak percaya. Bahkan otakku kembali memutar masa kecil ku bersama bunda. Baru saja tadi bunda, aku bilang tidak akan pergi terlalu lama dan aku berharap ketika aku kembali bunda sudah membuka mata. Tapi kenapa? Kenapa mata itu malah tertutup bahkan untuk selamanya?

Bunda belum mengatakan apa-apa, bunda belum menjelaskan semuanya, aku harus bagaimana kedepannya?

Kepalaku rasanya mau pecah, kali ini aku berharap. Kalau ini mimpi, tolong segera bangunkan aku.

Kami sampai di rumah sakit, dengan tergesa aku langsung berlari menuju ruang rawat inap bunda diikuti Bima di belakang. Ku buka pintu ruangan, di sana ada suster yang tengah menutupkan selimut sampai ke atas kepala bunda.

"Suster."

Ku hampiri dia, menghentikan apa yang akan dilakukan.

"Tolong periksa lagi aku mohon, bunda tidak mungkin pergi secepat itu."

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, kami turut berduka cita."

"Silahkan untuk administrasinya di selesaikan dulu."

Whitout You (SUDAH TERBIT DI TEORI KATA PUBLISHING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang