Sepasang kakinya tegas melangkah, membelah lautan manusia yang hilir mudik di sekitar bandara. Sesekali bahunya bergerak, guna membenarkan posisi tas ransel besar yang tengah digendongnya, sedangkan tangan kanannya masih setia mendorong koper sedang berisi pakaian.
Tatap datar dibalik bingkai kacanya sibuk melihat kanan kiri, mencari taksi yang bisa membawanya pergi disaat orang lain saling sibuk menukar pelukan dan senyuman pada keluarga yang menjemputnya.
Sedangkan Jehian tak berharap demikian, restu untuk dirinya bisa datang dimana keluarganya tinggal saja sudah lebih dari cukup.
Jehian enggan menjadi manusia yang serakah.
Sampai seorang pria dengan postur menjulang tinggi menarik paksa koper ditangannya, dan sebelah lainnya menarik tas ransel dalam rengkuh punggung sempitnya.
"Sor,"
Labiumnya belum sempat mengucap, "Mobilnya lumayan jauh abang parkirnya, kamu tunggu sini aja." sampai pria disampingnya mengaku sebagai keluarganya dan Jehian tak punya pilihan lain selain mengikuti kemana pria itu membawa barangnya pergi.
"Abang bilang tunggu aja disana, nanti abang jemputkan."
"Sorry, i can't trust you."
"Kamu ga percaya sama abang?" kening berkerut sejalan dengan tatap tajam buat Jehian gelagapan.
"Eh maaf maksud aku," daging tak bertulangnya mendadak kelu, seolah otak cerdasnya tak mampu merangkai kata untuk membalas ucapan pria dewasa di depannya.
Melihat Jehian yang diam seribu bahasa, Johnny memilih untuk lanjutkan langkahnya menyusuri area luar bandara, membiarkan adik bungsunya melakukan apa yang di maunya.
"Mau lunch dulu atau mau langsung pulang?"
"Mungkin lunch dulu, aku belum dapet hotel buat"
"Hotel?" intonasi datar Johnny nyatanya mampu buat Jehian terdiam, karna pada kenyataannya Jehian sendiripun tak tau kemana dirinya harus pulang saat sepasang kakinya berhasil menapaki satu negara yang sama dengan mereka yang disebut keluarga.
"Di deket kantor abang ada westren food, atau kamu mau coba indonesian food?" tawar Johnny.
"Aku ikut aA abang aja."
"Oke kita lunch Indonesian food aja, dan kamu wajib cobain yang namanya nasi padang."
Dan perjalanan dari bandara menuju kantor Johnny yang berada di Selatan Jakarta cukup memakan waktu panjang, jalan tol yang Johnny lewati total padat merayap seolah sengaja dibuat untuk menghabiskan bensin dan kampas rem.
"How's it going Lake Macquarie?"
"Just normal."
"And how's your day school?"
"Nothing special, just like a final exams, and then i'm graduate abis itu liburan ke Indo sebelum tahun depan buat kuliah."
"Loh bukan kamu masih kelas dua?"
Jehian menatap sekilas pria dibalik stir kemudinya, lalu tersenyum tipis setelahnya, "Ya begitulah."
Setelah obrolan singkat berakhir di Jehian, pun klakson mobil yang meminta untuk bergerak cepat Johnny tak lagi miliki kesempatan untuk bertanya.
Selain menawarkan menu makan siang yang Jehian balas dengan mengikuti apa menu yang sulung Suh inginkan.
Sejujurnya Johnny merasa asing, sekalipun sering bertemu seminggu dalam setahun ditiap kali merayakan natal di Australia, nyatanya Johnny masih terlalu asing untuk adik bungsunya.
Jehian terlalu tinggi membangun dinding disekitarnya, seakan enggan membiarkan siapapun masuk dalam hidupnya. Menolak semua orang termasuk dirinya yang ingin tau seberapa berwarnanya kehidupan Jehian yang sejak kecil memang sudah jauh dari keluarganya sendiri.
"Abis ini kita jemput kembaran kamu ya, masih inget Calvin kan? Bocahnya lagi rewel minta di jemput abang soalnya."
Jehian di seberang kursi menganggup singkat, terlalu mustahil dirinya tak ingat dengan satu satunya manusia dengan wajah serupa dirinya.
Sekalipun keduanya hanya pernah bertemu beberapa kali di malam natal penuh kehangatan yang keluarga besar Suh ciptakan.
COMING SOON
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME
Fanfiction⠀ Harapannya setinggi langit namun takdirnya sekencang badai yang menghempaskan tubuhnya ke dasar jurang. ⸂ © 𝗲𝗮𝗿𝗵𝘂𝘆𝗻, 𝟮𝟬𝟮𝟰. ⸃