#10. Telur Bumbu Bali

118 18 3
                                    


Jam kerja Naya selesai lebih awal hari ini, harusnya ia WFA sesuai dengan jadwal anggota timnya disini. Ia berdiri di depan jendela panoramik dari lantai 42 De Rotterdam yang langsung menghadap ke Sungai Nieuwe Maas, pemandangan hari-hari yang ia nikmati selama dua bulan terakhir ini.

Hari-harinya di Rotterdam berjalan lancar, program training juga bisa diikuti dengan baik oleh peserta, proyek kantornya dengan Pemerintah Belanda juga tidak terlalu ada hambatan. Hubungannya dengan Damar juga semakin membaik. Mereka rutin bertukar kabar sekarang, well Naya masih membiasakan diri membalas pesan-pesan Damar, atau sesekali mengangkat teleponnya. Namun perbedaan waktu lima jam antar mereka seringkali menjadi penghambat.

"Mbak Naya nanti jam 7 kita jadi ketemu yah? Di Kruidige Smaken yah? Ini lokasinya."

Bu Ratri Habitable City shared link

"Baik Bu Ratri, jam 5 sore saya jalan dari kantor. C u there Bu."

Naya bergegas mengemas laptop dan perlengkapannya dari meja kerjanya, menuju Rotterdam Central. Ia harus menuju sebuah lokasi di Den Haag, kota lain di Belanda. Bu Ratri salah satu anggota asosiasi diaspora Indonesia di Belanda mengundangnya untuk makan malam dengan anggota lainnya.

🎀 ----------- 🎀

Setelah selesai menyantap hidangan rijjstafel  dengan satasting sebagai makanan andalan dari Chef Oji, executive chef Kruidige Smaken, kini Naya sedang menikmati Es Bua, dessert khas restoran ini. Bu Ratri mulai mengajak kepada pembicaraan yang lebih serius.

"Forum minggu depan sudah final yah, semua persiapan sudah matang. Tapi kita akan ada acara tambahan nih," ucap Bu Ratri yang mendapatkan atensi penuh dari delapan orang peserta makan malam ini, termasuk Naya.

Bu Ratri memandang Naya sambil mengangguk, pasalnya ia sudah diberi tahu tiga hari sebelumnya akan ada sesi tambahan yakni forum dialog hybrid dengan mahasiwa Indonesia yang akan hadir pada acara itu serta webinar dengan diaspora di negara lain. Naya diminta menjadi moderatornya.

"Rek nambah naon, Ratri?" celetuk Chef Oji dengan logat Sundanya yang kental.

"Haha, biasalah Ji. Cuma dialog hybrid diaspora ala Habitable City aja kayak biasa. Temanya masih seputaran renewable energy  aja," ucap Bu Ratri sambil mengunyah kue dadar ijonya. "Sesinya habis makan siang kok. Kalau di jadwal sebelumnya kan acara showcase kain wastra nusantara setelah maksi, tapi Bu Mouly minta undur karena dia ada keperluan pribadi dulu."

Salah satu peserta makan malam, yakni Pak Eko, selaku event organizer pun turut bersuara, "Tapi maksimal dua setengah jam yah Rat, kalau kelamaan nanti bikin molor jadwal berikutnya." ... "Jadinya berapa orang yang akan jadi speaker?"

Bu Ratri menaikkan bola matanya sambil berpikir, "Saya, si Norman diaspora yang sekarang di Norway, sama anak bungsunya Bu Mouly. Aduh siapa yah namanya?"

Bu Ratri bergumam sambil mengingat-ingat sosok yang sedang diperbincangkan.

"Asa nu inget. Pradipta Damar Mardani, lain? Sakedap," celetuk Chef Oji membuyarkan konsentrasi lalu beranjak ke sebuah sudut restoran yang dipenuhi buku-buku tentang budaya dan majalah Indonesia.

"Ah iya bener, Dank je Ji!" seru Bu Ratri sambil mengangkat kepalan tangannya. "Dialognya juga permintaan dia kok."

Pradita Damar Mardani, nama yang familiar, batin Naya. Perempuan itu membuka ponselnya mencoba memasukkan nama itu dalam mesin pencarian. Namun kalah cepat dengan Chef Oji, yang sudah membawa majalah Indonesia Tatler.

City of EchoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang