BAB SEMBILAN

2 0 0
                                    

Apa aku akan benar-benar menciumnya seperti yang kulakukan di kelas satu? Apa yang akan terjadi kalau aku sudah melakukan itu? Apa dia akan marah padaku atau ia akan menerimanya? Pertanyaan itu membuatku gelisah untuk tidur malam itu. Sesekali, aku tersenyum-senyum sendiri saat tak henti membayangkannya. Namun, aku juga ngeri kalau ia marah dan membenciku. Apa yang terjadi hari Senin nanti ketika kami bertemu mungkin akan menentukan segalanya.

Apa kami akan canggung setelah kejadian hari ini?

Setelah 48 jam disiksa oleh rasa gelisah, akhirnya hari Senin pun tiba. Seperti biasa, aku bangun pagi dan bersiap untuk sekolah. Di tengah perjalanan, aku sempat termenung saat melewati lapangan serba guna dan menatap pos satpam di seberang lapangan. Momen canggung yang terjadi Jumat sore kemarin dengan Nora terlintas di kepalaku. Aku lantas menggelengkan kepala bermaksud agar melupakan kejadian itu dan tetap bersikap seperti tidak terjadi apa pun hari itu. Namun, tekadku hancur ketika melihatnya sudah lebih dulu berjalan memasuki area sekolah beberapa meter di depanku.

Ia sedang berbincang dengan Pak Joko di area tempat parkir kendaraan. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi ia tampak tertawa malu-malu dengannya. Aku mendekat diam-diam karena penasaran dengan percakapan mereka. Apa ia sedang membicarakanku? Apa yang sedang kubicarakan?

"Bagus, deh. Ngomong-ngomong, neng nggak bareng sama den Aldi?" Itu yang dapat kudengar dari Pak Joko. Saat Nora hendak menoleh ke arah gerbang, dengan cepat aku melompat ke belakang tembok gerbang sekolah dan bersembunyi.

Sisa percakapan mereka terdengar seperti gumaman yang tak jelas di telingaku. Namun, saat kembali mengintip dari balik tembok gerbang sekolah – "Ah, Bapak bisa aja. Kita mah hanya teman, Pak. Nggak lebih" – jawaban dari Nora membuatku hanya bergeming.

Teman? Hanya teman? Tidak lebih? Itukah yang dirasakannya selama ini padaku?

Layaknya sebuah kaca yang retak, itulah perasaanku saat tahu cintaku tidak terbalas. Aku sempat tidak percaya dengan apa yang kudengar darinya. Aku bahkan ragu dengan telingaku apakah aku benar-benar mendengarnya berkata seperti itu kepada Pak Joko. Aku butuh solusi, jadi kuputuskan untuk bicarakan masalah ini dengan Bayu.

"Ssshhh... jangan bicara di sini!" katanya ketika aku hampir menceritakan semuanya di kelas kepadanya. "Kau nggak mau orangnya dengar, 'kan?" Aku melirik diam-diam pada Nora, yang ternyata diam-diam sedang memandangiku sambil senyum-senyum sendiri.

"Oh, kau benar," balasku berbisik pada Bayu.

"Temui aku di perpustakaan pulang sekolah nanti. Kita bisa lanjut bicara di sana."

Alasanku membicarakan soal ini padanya karena aku menganggapnya sudah berpengalaman. Ia sangat sensitif dengan masalah hati. Ia juga mahir membedakan gadis mana yang setia dan gadis mana yang hanya melampiaskan keinginannya, lalu pergi begitu saja. Ditambah, rumornya ia sudah berpacaran sejak kelas lima SD. Jadi, aku sangat yakin pengalamanya yang baik atau buruk mungkin bisa membantu masalahku juga.

Sepanjang hari, aku berusaha menghindarinya. Rasa kesal masih memengaruhiku. Saat jam istirahat, aku baru akan duduk di bangku taman bawah pohon di depan kelas satu SD. Tak sengaja, aku melihat Nora sudah duduk di sana lebih dulu. Ia tampak celingukan seolah menungguku, sambil menyantap makan siangnya.

Cerita tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang