Bab 7

0 0 0
                                    

Mail berdecak kesal ketika memandangi halaman kampus. Tempat itu ramai oleh orang tua yang mendampingi anak-anaknya wisuda. Kristin lagi-lagi memaksa Mail untuk menghadiri wisuda Karina hari ini. Wanita itu sampai sengaja membeli buket bunga besar.

Begitu Mail melangkah keluar dari mobil, ia menjadi pusat perhatian. Semua mata memandang padanya, banyak wanita yang terpesona padanya.

Mereka seakan tidak percaya seorang pria yang sedang berada di puncak kesuksesan berada di tengah mereka. Untuk apa gerangan pria itu datang ke kampus mereka?

Mail tidak memedulikan tatapan orang-orang itu. Ia hanya memandang ke depan, berharap ia sampai ke tempat Karina dan keluarganya berkumpul.

"Hardi, Tante kira kamu gak jadi datang," ujar Lia ketika ia bersalaman dengan Lia dan juga Gunawan.

"Tadi saya ada urusan dulu sebelum ke sini. Jadi sedikit telat, Tante."

"Padahal kalau ada kerjaan kamu gak ke sini juga gak apa-apa." Gunawan merasa tidak enak karena Mail menyempatkan datang ke wisuda putrinya di hari kerja begini.

"Gak apa-apa kok, Om. Saya memang berniat ke sini kok sebelumnya." Mail tersenyum tipis. Sebenarnya itu bukan niatnya sama sekali.

"Ya, udah, Tante tinggal dulu, ya. Kalian berdua ngobrol aja." Lia segera pergi meninggalkan Karina bersama Mail di sana seraya menarik suaminya menjauh.

Mail menyerahkan buket bunga mawar birunya pada Karina tanpa menoleh padanya. Karina tersenyum senang dan segera mengambilnya.

"Makasih loh, Bang Mail udah kasih aku ini."

"Iya." Mail sama sekali tidak berhadapan dengan gadis itu. Ia seolah tidak mengenalnya walau Karina selalu dekat dengannya.

Banyak mata memandang iri pada Karina. Siapa yang tidak mau berpasangan dengan Ismail Hardi Winarta? Tidak akan ada yang menolaknya jika pria itu menawarkan diri, tetapi ternyata dia sudah mempunyai tambatan hati.

"Saya kasih bunga itu bukan karena kemauan saya, ya," ujar Mail ketika mereka berada di taman kampus. Di sana tidak terlalu banyak mahasiswa sekarang. "Itu karena Mama yang paksa saya ke sini. Kalau gak dipaksa, saya gak akan mau. Buat apa juga saya menghadiri acara wisuda."

"Jangan begitulah, Bang." Karina menyenggol lengan pria itu. "Kita kan bentar lagi nikah."

Mail menatap sejenak gadis itu. Wajahnya dipoles make up tidak terlalu tebal. Karina jadi terlihat berbeda dari sebelumnya. Dia lebih cantik. Mail berdeham seraya memalingkan wajah. Bisa-bisanya ia berpikir Karina cantik. Mail berdecak. Lalu membuang napas berat. Mungkin ia harus mulai menerima kenyataan itu. Mau sekeras apa pun menolaknya, Karina akan tetap menikah dengannya.

"Kita foto dulu, yuk." Karina mengeluarkan polaroidnya.

"Enggak, ah. Kamu aja." Mail memalingkan wajah.

"Ih, ayo." Karina memaksa, ia menarik lengan pria itu agar lebih dekat dengan Karina. Karina mulai bergaya, tetapi Mail tidak peduli. Saat foto diambil ia memalingkan pandangannya.

Karina mengibas-ngibaskan kertas foto yang keluar dari polaroid. Ia mencibir ketika gambarnya muncul. "Ih, kok posenya gitu sih."

"Saya gak suka difoto, jadi kamu aja sendiri."

"Gak asyik dong kalau foto sendiri. Sekali lagi aja." Karina tersenyum seraya memohon.

Mail kembali menatapnya sejenak. Lalu, ia membuang napas kasar. Untuk kali ini saja ia akan mengikuti keinginan gadis itu. "Oke."

Dua foto sudah tercetak. Karina memaksa Mail menyimpan foto itu di dompetnya. Mail hanya akan menurutinya sekarang, setelah sampai di rumah ia akan membuang foto itu.

***

"Selamat ya atas kelulusannya." Nino menelepon Karina saat gadis itu sudah berada di rumah.

"Makasih, Mas." Karina tersenyum walau orang di seberangnya tidak bisa melihat.

"Maaf aku gak bisa datang. Aku lagi banyak kerjaan, jadi gak bisa keluar kantor."

"Enggak apa-apa kok, Mas Nino gak usah maksain kalau banyak kerjaan. Nanti malah diomeli sama atasan lagi kalau nekat keluar."

Karina dan Nino terkekeh bersamaan.

"Tapi walaupun aku gak bisa datang, aku udah kirim buket bunga ke rumah kamu."

Karina merasakan sesuatu berbeda pada hatinya. Ia mulai membandingkannya dengan Mail. Andai pria itu juga begini, pasti ia akan senang.

"Harusnya Mas Nino gak usah kirim bunga segala. Udah dapat ucapan selamat aja, aku udah senang."

"Enggak apa-apa, aku udah niat mau kirim bunga kok."

Karina jadi berpikir, apa ia lebih baik berpaling saja pada Nino? Karina menggeleng. Tidak. Ia akan memperjuangkan cintanya sampai Mail membalas cintanya.

Setelah Karina mengakhiri teleponnya, Lia memanggil Karina dari luar. Karina segera menghampiri ibunya.

"Ada kiriman bunga buat kamu." Lia menyerahkan buket bunga yang sama besarnya dengan pemberian Mail.

Karina menerimanya. Ia melihat ada kartu ucapan yang terselip di sana.

Happy graduation, ya. Semoga segala mimpimu bisa tercapai setelah ini. (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠

Nino

Karina tersenyum membaca kartu ucapan yang simple itu. Lia penasaran dari siapa buket bunga itu. Ia mencoba untuk melihat isi kartu ucapan itu dengan mengangkat kepalanya.

"Mama kepo, ih." Karina menyembunyikan isi kartu ucapan itu.

"Buket dari siapa sih?" tanya Lia.

"Dari temen aku."

"Temen kamu? Ngapain temen kamu kirim buket bunga? Kalian juga kan sama-sama wisuda hari ini." Lia menyangka buket itu dari Safira.

"Bukan dari Safira, Ma. Tapi dari temen aku yang lain." Karina menjelaskan.

"Siapa?"

"Ada, deh." Karina tersenyum seraya masuk kembali ke kamarnya dan menyimpan buket bunga itu di samping pemberian Mail.

"Tapi bukan pacar kamu, kan?" Lia ikut masuk ke kamar putrinya.

"Ya, bukanlah, Ma." Karina membantah. "Dia emang cowok, tapi bukan pacar Karina."

"Rin, kamu tuh jangan deket-deket cowok lain. Kamu udah dijodohin."

"Aku gak deket, Ma. Tapi dia yang ngedeketin Karin terus. Karin udah bilang kalau dijodohin."

"Ya, kalau gitu kamu gak usah ladenin dia lagi."

"Agak susah sih, Ma." Karina mengusap dagunya.

"Kalau kamu ladenin dia terus, yang ada kamu ngasih harapan ke dia. Kamu tuh jadi cewek gak usah terlalu akraban sama cowok." Lia mulai mengomel.

"Ya, gimana, ya, Ma. Karin udah begini sih orangnya." Karina mengedipkan matanya beberapa kali.

Lia membuang napas pelan, lalu geleng-geleng kepala. "Terserah kamu aja, deh. Yang penting kalian gak pacaran." Lia kembali keluar dari kamar putrinya.

Karina termenung. Kenapa sekarang ia merasa ragu untuk menikah dengan Mail. Apakah ia akan bahagia hidup dengan seorang suami yang tidak mencintainya sama sekali? 

***

Mengejar Cinta Bang MailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang