Bab 8

0 0 0
                                    

Karina menjatuhkan kepalanya di meja belajar. Ia memainkan action figur idol miliknya dengan mengelus kepalanya. Pernikahannya tinggal beberapa hari lagi, ia mendadak ragu dengan keputusannya untuk menikah dengan Mail. Ia mendadak memikirkan kebahagiaannya sendiri. Apa setelah menikah nanti ia akan bahagia? Mail kan tidak mencintainya. Karina mendesah panjang.

Ponselnya berdering, Karina meraih benda itu sedikit malas. Lalu, melihat nama Mail di layar yang meneleponnya. Karina segera menegakkan badan. Kemudian, Karina menjawab telepon dari pria itu.

"Halo."

"Saya ke rumah kamu sekarang."

"Tumben."

"Kamu lupa kalau hari ini terakhir fitting baju?"

Karina berpikir sejenak untuk mengingat jadwal itu. "Oh ... aku lupa." Karina terkekeh.

"Ya udah, saya sebentar lagi sampai. Kamu siap-siap aja."

Mail mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu Karina bicara lagi.

Karina berdecak kesal. Ia menggerutu pada layar ponselnya, "Bisa gak sih tutup teleponnya pake permisi dulu."

Lima belas menit kemudian, Mail sudah tiba di rumah Karina. Ia tidak langsung turun dari mobil. Rasanya waktu cepat sekali berlalu, sebentar lagi ia akan menikah. Ia tidak tahu kehidupannya setelah menikah bersama Karina akan seperti apa. Apa dia akan berakhir mencintainya atau perasaannya akan tetap seperti ini?

Lamunannya buyar saat melihat Karina keluar dari rumahnya. Mail melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil.

"Mama kamu ada?" tanya Mail.

"Ada."

"Kamu tunggu di mobil." Mail mengedikkan dagunya mengisyaratkan Karina untuk menunggu di mobil. Lalu, ia berjalan melewati gadis itu.

Karina tidak menjawab. Segera saja Karina berjalan menuju mobil Mail yang terparkir di halaman rumahnya. Karina menunggu seraya memainkan ponsel. Sepuluh menit berlalu, Mail belum juga keluar dari rumahnya. Apa yang sedang dia bicarakan dengan ibunya? Karina kembali menyalakan ponselnya untuk mendengarkan musik lewat earphone. Tak lama kemudian, Mail masuk ke mobil. Karina mematikan musik dan melepas earphone-nya.

"Ngobrolin apa sama Mama?" tanya Karina penasaran.

"Saya nyampein pesan dari Mama." Mail menjawab tanpa menoleh.

"Pesan apa?"

"Soal pakaian buat bridesmaid, pakaian buat mereka kan bikin khusus." Mail melirik sejenak.

"Oh." Karina kembali fokus pada ponselnya. Karena selama perjalanan mereka tidak akan mengobrol, jadi lebih baik ia memainkan ponsel saja.

Hanya deru mesin mobil yang terdengar selama sepuluh menit terakhir. Karina sesekali menoleh pada pria yang fokus di belakang kemudi. Karina bukanlah tipe manusia yang cinta kedamaian seperti ini. Mail tidak berniat membicarakan masa depan dengannya apa? Misalnya mereka mau punya anak berapa? Setelah menikah tinggal di mana? Apa Karina harus berinisiatif untuk mengawali percakapan mereka?

Karina baru saja membuka mulut. Namun, Mail sudah lebih dulu bicara. "Setelah menikah nanti, saya gak akan mengekang kamu. Kamu mau kerja atau di rumah aja gak masalah."

Karina melirik diam-diam. Karina berdeham. "Aku sih maunya kerja aja. Ya kali ijazah sarjana aku gak dipake."

"Terserah kamu, saya gak akan memaksa kamu harus diem di rumah."

"Mmm ... kita ... nanti tinggal di mana?"

Mail melirik sekilas. "Rumah saya yang di Jakarta Pusat udah selesai. Saya harap kamu mau tinggal di sana nanti."

Mengejar Cinta Bang MailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang