3. Hari Yang Buruk

487 65 10
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak Jeon dan Travis melakukan malam pertamanya, dan baru sekarang ia bisa berjalan dengan sedikit normal tidak seperti bebek atau pinguin lagi.

Sakit karna di perawani oleh sang suami, benar benar membuatnya sedikit kelimpungan. Awalnya dia pikir rasa sakitnya hanya setelah melakukannya di malam hari saja, namun ternyata saat pagi menjelang sakitnya malah terasa jadi dua kali lipat.

Beruntung Jeon menikah dengan Travis, lelaki mapan, tampan dan bertanggung jawab yang tidak ingin enaknya saja.

Bicara soal suami tampannya itu, saat ini dia memang tidak sedang bersama Jeon. Pagi tadi Travis pamit untuk pergi ke rumah ibunya dan akan berkumpul dengan teman-temannya sebentar juga mungkin baru akan pulang saat sore hari nanti.

Tadinya Jeon meminta ikut, hanya saja Travis tidak mengizinkannya karna sebagian besar teman suaminya itu pecandu rokok dan Jeon anti dengan yang namanya asap rokok.

Karna merasa mulai bosan, Jeon lebih memilih untuk keluar. Mungkin akan ada sesuatu yang bisa menarik perhatiannya.

"Eh ada pengantin baru, sini sini ngumpul"

Perkataan dari seorang ibu-ibu membuatnya tersenyum kikuk dan mau tidak mau akhirnya Jeon mendekat dan duduk bersama ibu-ibu komplek yang sedang berkumpul.

Rasanya ada sedikit penyesalan di hatinya, tahu akan berakhir seperti ini, lebih baik ia berdiam diri saja di kamar sampai Travis pulang.

Menolak untuk ikut berkumpul? Jeon si manusia tidak enakan mana bisa melakukan hal seperti itu.

"Gimana rasanya setelah menikah Je? Enakan?"

Jeon menoleh kearah samping dan menganggukan kepalanya, "iya".

"Kemarin yang datang juga lumayan banyak, pasti kamu dapat banyak ya amplopnya?" Tanya satu ibu yang Jeon ketahui sebagai penghuni rumah di depan rumahnya.

Mendengar pertanyaan yang seperti itu membuat perasaan Jeon mulai tidak enak.

"Ah itu, iya lumayan" balas Jeon seadanya.

"Gimana malam pertamanya? Punya Travis gede gak?"

"Kalo kata orang di tiktok sih, cowok tinggi dan kurus itu punyanya gede"

Merasa pertanyaan yang memberondongnya mulai tidak mengenakan untuk di dengar atau di jawab, Jeon memutuskan untuk pamitan dengan dalih ingin pergi ke minimarket guna membeli barang.

Ia merogoh sakunya dan tersenyum bahagia saat mendapati uang yang terselip di kantong celananya, dengan segera ia membeli beberapa makanan dan memilih untuk berdiam diri sejenak di depan toko itu.

Perasaan kesal masih menggerogoti hatinya, ia kesal dengan dirinya yang suka tidak enakan padahal orang lain sering seenaknya dan soal pertanyaan mereka, memangnya boleh mengulik sesuatu yang sifatnya privasi seperti itu? Jeon tahu mereka hidup bertetangga sudah lama, hanya saja rasanya tidak nyaman kalau hidupnya terus di kepoin.



::: 🦋🐺 ::: 🦋🐺 ::: 🦋🐺 :::



Jeon menjatuhkan tubuhnya keatas kasur, "Aku kangen kak Avis"

Dengan cepat ia menggulingkan tubuhnya untuk menjangkau ponselnya yang ada diujung sana.

Baru juga di hidupkan, sesuatu yang baru saja di ingatnya membuat Jeon mendadak terdiam kaku.

Dia lupa password handphonenya.

Jeon mengeryitkan dahinya mencoba mengingat kata sandi ponselnya tersebut, tetapi nihil. Sebanyak apapun dia berpikir, dia tetap saja melupakannya.

"Apa ya? Kok aku lupa" gumamnya.

Setelah sekian menit bergelut dengan ingatannya, Jeon akhirnya tersenyum penuh kemenanga.

"Oh ... OH AKU INGET"

Dengan penuh semangat dan percaya diri Jeon memasukan deretan angka yang dia yakini sebagai passwordnya, tetapi kenyataan seakan menghantam kepala kecilnya saat layar ponselnya sama sekali tidak terbuka.

"Ih, ah apa sih passnya!" Marah Jeon.

Dia merasa kesal dan sebal, padahal jika menyangkut apapun itu dia tidak akan sepikun ini. Tetapi kenapa sangat berbanding terbalik saat menyangkut password ponselnya.

Karna merasa sangat sebal ia melempar sembarangn benda pipih itu dan memilih untuk keluar dari kamar. Mengambil banyak cemilan dan duduk diam di depan televisi.

"Hari ini bener-bener nyebelin" gumamnya.



::: 🦋🐺 ::: 🦋🐺 ::: 🦋🐺 :::




"Kakak jalan-jalan yuk"

Travis menerima segelas air yang di sodorkan oleh Jeon, ia menatap heran kearah istri manisnya itu.

"Tumben? Biasanya paling malas buat diajak keluar?"

Jeon berdecak sebal lalu mulai menceritakan harinya yang cukup menyebalkan, "Coba kakak bayangin jadi aku, apa gak kesal?!".

"Bener, kakak jadi kamu juga pasti rasanya kesal juga. Daripada kepoin hidup orang, kenapa dia gak ngurusin keluarga sendiri aja. Kayaknya itu lebih baik"

"IYAKAN?! Mereka tuh selalu ingin tahu apa yang ada di dalam rumah orang lain, kenapa gitu? Padahal keluarga aku gak pernah sekalipun kepoin hidup mereka!"

Travis tertawa kecil, ia memeluk Jeon dan memberi ciuman beberapa kali di pipi gembilnya itu. Setelahnya dia mengelus punggung istrinya untuk menenangkannya.

Daripada menyuruh Jeon untuk terus sabar atau acuh terhadap omongan jahat yang di dengarnya, ia lebih suka untuk memvalidasi emosi istrinya terlebih dahulu. Pengecualian jika Jeon yang mencari perkara, maka Travis tidak segan untuk menegur bahkan memarahinya.

Travis tahu jika Jeon itu sangat berbanding terbalik dengan dirinya, ia sangat acuh dengan omongan orang lain tetapi Jeon sangat mudah kepikiran.

Satu hal yang sering di lakukannya adalah memvalidasi emosi Jeon, agar lelaki manis itu tetap merasa nyaman untuk bercerita kepadanya dan tidak memendamnya sendirian.

"Kakak mandi dulu, kamu siap-siap ya. Abis itu kita jalan-jalan"

"Okeee"

Nada ceria itu membuat Travis terkekeh gemas, sepertinya Jeon sudah mulai melupakan kejadian yang dialaminya.





::: 🦋🐺 ::: 🦋🐺 ::: 🦋🐺 :::


Rumah Tangga (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang