Desperation of Disconfessing

114 17 0
                                    

Freen begitu menikmati makanannya, seperti pengangguran yang kehabisan dana darurat.

Secara teknis mungkin benar, Freen sedang menganggur karena cutinya sebulan ini. Meski di bagian kehabisan dana darurat tidak sepenuhnya benar.

Tapi ayolah, Freen tengah dalam masa upgradenya. Anjlok sedikit tidak berarti gagal selamanya kan?

Lagi pula minggu depan ia akan kembali merapatkan jadwalnya. Rasanya itu lebih baik dari pada situasinya sebulan ini.

“Becky? Kenapa diam saja? Aku sudah memastikan khao pad itu tidak pedas untukmu” Bujuk Freen, saat Becky hanya diam memandang wajahnya begitu tajam. Ia menyendok nasi di piring Becky dan menyodorkannya ke mulut tipis Becky. Membuat Becky mau tak mau menerimanya. Ini lebih baik. Freen tersenyum lebar.

“Bagaimana?” Becky hanya mengangguk sekilas. “Kha, makanlah” Printah Freen sembari meletakkan sendok tadi ke telapak tangannya. Freen benar-benar menyiapkan semuanya untuk Becky.

“Ooyy.. Becky, berhentilah menatapku dengan cara seperti itu. Kau hampir memotong leherku hanya dengan menatapnya saja nong” Ujar Freen sembari terkekeh.

“Chai, aku pergi” Becky berdiri dari duduknya hendak meninggalkan Freen sebelum si jangkung itu menangkap lengannya lagi.

“Nong~ ada apa? Bukankah aku sudah melakukan apa yang kau minta? Aku tak menjauh, dan kembali dengan waktu yang tidak lama, aku bahkan memberi tahumu aku di rumah bersama mae” Sungguh Freen tau apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja sulit baginya untuk menjalani hubungan yang terlalu dalam.

“Kau benar. Mungkin aku permasalahannya” Becky kembali menarik tangannya dari genggaman tangan Freen. Namun Freen kembali menahannya.

“Becky, kau boleh marah sesukamu. Tapi bisa kau makan dengan baik sekarang? Hanya itu. Setelah ini mari kita berbicara.. Hmm..??” Becky mendengus kesal mendapati dirinya patuh. Freen tersenyum lebar, puas dengan hasil bujukannya.

Na rak jang!” Ujar Freen sembari mengusap rambut Becky. Freen akan selalu bertingkah seolah ia menjadi seorang kakak yang baik bagi Becky. Dan hanya itu yang bisa ia lakukan sampai kapanpun. Hanya itu usaha terbaik yang dapat ia lakukan untuk Becky.

Sesekali Freen mengusap minyak di sudut bibir Becky penuh perhatian dan menghisap jarinya sendiri setelahnya. Freen akan memperlakukan Becky sebaik mungkin, agar ia tidak sia-sia menjaga gadis cantiknya selama ini.

“Hmm.. Makanlah dengan baik, agar kau bisa menjadi wanita dewasa yang kuat dan menemukan pria yang benar-benar pantas untukmu” Becky berhenti menatap Freen tak percaya. Setelah apa yang telah mereka lakukan kemarin dan beberapa menit yang lalu? Freen tau ia memang brengsek. Tapi sungguh, Becky pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik. Dan Freen tidak bisa menjadi lebih baik dari ini. Bagaimana mungkin ia menyeret Becky ke dalam emosinya yang rumit ini?

"Lagi? Setelah malam kemarin, kenapa harus aku bercinta dengan pria lain?" Freen bergeming, bahkan saat Becky menggebrak meja dan berdiri dari kursinya. Berlalu meninggalkan sisa makanan yang masih belum banyak berkurang. Freen bahkan menahan diri untuk menatap kepergian gadis itu dari tempat mereka sekarang.

“Beck, kita tidak bisa lebih jauh lagi” Lirih Freen begitu nelangsah sembari menutup matanya kuat-kuat, membuat Becky berhenti sejenak sebelum mendesah kesal dan melanjutkan langkah kakinya kasar.

Kini Freen terjebak perasaannya sendiri. Terkadang ia mengutuki kekacauan yang ada dalam dirinya. Tidak seharusnya otak sialan ini cacat begitu saja. Sial, kenapa harus dia yang mendapatkan kekacauan ini? Dan kenapa juga harus Becky yang meminta hidupnya yang kacau ini?

Bagaimana jika ia tak bisa melakukannya dengan baik? Bagaimana jika ia dalam kondisi terburuknya dan Becky akan ikut merasakan kegelisahan tak tertahankan itu? Dan bagaimana jika Becky muak dan memilih untuk pergi? Ia masih belum siap untuk semua kemungkinan yang semakin mengacaukannya itu.

Dan saat hal itu tiba, yang tertinggal hanya dia dan kekosongan yang menyiksanya itu.

Entah sampai kapan ia akan memutuskan untuk berhenti melangkah jika itu tentang hubungan. Yang jelas, ia merasa yakin semua itu tidak akan berjalan dengan baik, dan justru akan berakhir buruk dengan segala kekacauan yang tinggal dalam dirinya.

Menyayat benang hidupnya yang memang sudah tipis ini pun rasanya tak mungkin ia lakukan lagi. Tentu keadaan akan semakin menggila. Jalurnya habis seolah tak ada lagi jalan yang tersedia untuk Freen, baik untuk meneruskan langkah atau pun untuk kembali. Seakan ia terhimpit egonya sendiri dan ego orang lainnya.

Matanya terbuka perlahan, berharap ini semua hanya delusi semata. Becky yang pergi dengan hati yang akan meledak dan ia yang sedang putus asa meratapi ikatan tali merah mereka yang kian mengusut. Ini hanya mimpi bukan?

Sepertinya iya, karena kali ini ia menyaksikan bagaimana netra bening favoritnya itu menatap dalam setiap lekuk wajahnya.

“Becky?” Seharusnya ini yang nyata. Iya kan? Cahaya matahari menyapu wajahnya lembut, membuat gadis itu berkali-kali lipat lebih cantik dari ratusan bidadari di langit ketujuh sana. Dengan hidung mancung, mata lebar, dan bibir tipis itu. Terlihat begitu surgawi baginya.

Ia memberanikan diri melumat sejenak bibir merah muda itu, sebelum ia sadar, ini masih kondonium yang sama. Becky yang sama. Dan Freen yang sama menyedihkannya seperti semalam.

“Phi..” Lenguh Becky di akhir juluran benang saliva di antara mereka. Bola mata Becky berputar-putar mengamati raut wajah Freen saat ini. Tangan gadis itu mendorong lembut pundak Freen. “Kenapa kau masih di sini?”

Benar, kenapa Freen masih di sini? Kenapa Freen tak bisa pergi seperti biasanya?

“Aku hanya tidak ingin kau merasa dicampakkan karena aku” Freen mengusap pinggang gadis itu lembut, seolah tak ingin sedikit pun sentuhan darinya menyakiti Becky lagi.

“Lalu apa yang sedang kita lakukan saat ini? Permainan macam apa yang ingin kau mainkan denganku phi?” Kening keduanya beradu lembut. Seolah tak ada yang ingin menyisakan jarak sedikit pun. Freen tau, bukan hanya Becky, semua orang juga menginginkan kepastian. Hal yang bahkan tidak Freen temukan dalam dirinya sendiri.

Freen mendorong lengan Becky hingga gadis itu terlentang di atas sofa. Mengukung tubuh mungil itu di bawah tubuhnya. Membiarkan Becky melihat keputusasaan yang begitu mengoyak dirinya.

“Becky” Sekali lagi Freen menyebutkan nama yang selalu ia sukai itu. Membuat sang empunya membuka mata.

“Aku..” Bisik Freen sejelas mungkin di depan wajah Becky.

“Bukan orang yang tepat” Ungkapnya selembut yang ia bisa, memastikan pernyataan sebelah pihak itu tidak lebih lagi menyakitkan hati Becky dari pada arti yang sebenarnya. Gadis itu hanya memejamkan mata, mungkin tak mau melihat bagaimana Freen akan pergi lagi.

Ia mengecup kening itu begitu hati-hati. Seolah sedikit saja ia salah bergerak, Becky akan hancur menjadi kepingan-kepingan kecil yang menyedihkan.

“Ayo kita bermain seperti awal pertemuan kita kala itu, karena aku tak bisa jika harus kehilanganmu” Ujar Freen untuk terakhir kalinya sebelum ia bangkit dan meninggalkan Becky sendiri.

Gadis itu membuka matanya perlahan. Menyelipkan tangan di sela-sela sofa lalu mengeluarkan sebuah tabung kecil yang entah kapan dan dari mana ia mendapatkannya.

"Phi Freen"

The Untitled UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang