Jeva sampai di gelanggang olahraga dengan motor, dibonceng Lingga tentu saja. Dia mana boleh bawa kendaraan sendiri. Setelah sampai di dalam, Jeva beralasan ingin membeli minuman dan melenggang pergi sendiri padahal Lingga sudah menawarinya untuk pergi bersama tapi agaknya si bungsu tidak mau ditemani.
Bocah laki-laki itu mengetuk kaca vending machine dengan sedikit kesal sebab sepertinya mesin ini agak macet. Mana uangnya sudah ditelan lagi, kan tidak mungkin ia merelakan uang 10 ribunya begitu saja.
"Minggir!" Jeva terdorong ke samping dengan keras hingga bahunya menabrak mesin di sebelahnya.
"Woy!" Anak laki-laki itu menyentak keras, berdiri di hadapan orang yang baru saja mendorongnya. Matanya terbelalak kaget melihat orang yang sedang tersenyum remeh kepadanya.
"Eh? Ternyata bener ya lawan gue ntar kembaran lo? Jeva? Lama gak ketemu ya."
Badan Jeva sedikit gemetar melihat laki-laki yang lebih tinggi darinya berkacak pinggang.
"Brian?"
"Coba sini liat dulu, wih makin tinggi, makin cakep tapi masih keliatan nerd, agak cupu dikit." Laki-laki yang dipanggil Brian itu sedikit mencengkram dagu Jeva menolehkan paksa wajahnya ke kanan dan kiri. Tersenyum lebar saat Jeva berani menepis tangannya yang hendak menyentuh kepala yang lebih muda.
"Wih, udah mulai berani juga sekarang." Brian mencengkram kerah Jeva dan menariknya lebih dekat tapi seseorang datang mendorongnya hingga terpisah dari Jeva.
"Seru banget reuninya gue liat-liat." Java berdiri di depan Brian dengan wajah yang sengak. Anak itu sudah pakai jersey dan sepatu basketnya, menjadi pertanyaan bagaimana Java bisa sampai disini dan menemukan saudara kembarnya.
"Long time no see, Jav? Lo gak berubah juga ternyata, masih aja jadi tameng adek lo yang gak guna ini ya." Mendengar kalimat 'gak guna' yang disematkan Brian pada Jeva tentu saja membuat Java tersulut.
"Java jangan!" Java yang sudah mengangkat tinjunya tinggi-tinggi harus mengurungkan niat untuk memukul Brian karena teriakan Lingga.
Lingga menarik Java mundur, berdiri di tengah-tengah adiknya dan orang asing itu. Entah apa masalahnya, tapi Lingga tak suka dengan tindakan kasar Java yang sudah ancang-ancang mau melakukan kekerasan.
"Apa-apaan sih lo? Kalo' kena sanksi gimana? Lo tuh pemain." Lingga menatap tajam adiknya, lalu beralih pada Jeva yang sejak tadi diam.
"Kamu kenapa?" Jeva tak menjawab tapi matanya menatap lurus kepada laki-laki yang sejak tadi sudah berkacak pinggang memperhatikan mereka.
Lingga menoleh ke arah tatapan Jeva. Seorang laki-laki setinggi Java berdiri dengan wajah yang menyebalkan, menatap remeh kedua adiknya. Ia menggunakan jersey basket juga tapi dilapisi luaran jaket sekolah.
"Duluan ya kembar! Sampek ketemu di lapangan Jav." Akhirnya laki-laki itu mengundurkan diri setelah merasakan hawa tak enak dari tatapan Lingga. Padahal katanya kakak si kembar itu terkenal ramah tapi ia tampak menakutkan dengan tatapan tajamnya.
Setelah kepergian Brian, Lingga beralih menatap kedua adiknya.
"Siapa dia?" Si kembar saling tatap sebelum Java menjawab pertanyaan sang kakak.
"Bukan siapa-siapa."
∆_∆
Gara memperhatikan Jeva dan Lingga yang baru saja kembali dari vending machine. Pasti terjadi sesuatu disana, laki-laki itu tersenyum miring melihat sang kembaran dengan raut wajah marahnya yang begitu ketara. Wajah itu jarang sekali tampak dari wajah seorang Elzian. Rahangnya mengeras dengan tatapan tajam yang sama sekali tidak ramah. Sedangkan Jeva mengikuti di belakangnya dengan kepala yang menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
J.E.V.A
NouvellesCerita keseharian seorang bungsu keluarga Diaskar yang dimanja seisi rumah. Bahkan sampai supir, tukang kebun, dan pembantunya ikut memperlakukannya bak pangeran kecil yang harus dilayani. Saat kecil si bungsu menyukainya, tapi seiring berjalannya w...