Chapter 17- Renjiro- Strategi

7 4 8
                                    

“Selamat datang di Pantai Tanjung Pendam!” suara Laura menggema di sepanjang pantai. “Hari ini, kalian akan menganalisis potensi bisnis di sekitar sini dengan mewawancarai pemilik warung makan. Setiap tim akan memberikan laporan hasil analis masing-masing. Pada challenge kali ini, kami membagi kalian menjadi dua tim. Tim pertama terdiri dari Renjiro dan Tari, sedangkan tim kedua terdiri dari Clarissa, Kayla, dan Arif. Selamat berjuang!”

Setelah Laura selesai menjelaskan, saya dan Tari segera bergegas menuju warung makan terdekat: Dapoer Rasa.

Di dalam, aroma makanan yang menggoda langsung menyerbu indra penciuman. Seorang ibu-ibu dengan kisaran umur 40 tahunan yang kutebak sebagai pemilik warung, terlihat sibuk menyiapkan hidangan ketika kami masuk. Wajahnya berseri ketika melihat kami.

“Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

“Kami dari tim Best in Class, Ibu,” saya menjelaskan. “Kami ingin mewawancarai Ibu tentang bisnis ini untuk memahami potensi yang ada. Aap boleh?” Saya meminta izin.

“Silakan. Apa yang Mas dan Mbak ingin tanyakan?” Ibu pemilik warung mengangguk, tampak terbuka untuk berbagi. "Tapi Ibu sambil masak nggak apa-apa?"

“Tidak apa-apa, Bu. Justru kami berterima kasih karena Ibu bersedia direpotkan. Boleh tahu ini dengan Ibu siapa?" tanya Tari.

"Boleh panggil Ibu Siti saja," jawab Ibu Siti sambil tersenyum.

"Baik, Bu Siti. Saya ingin tahu, bagaimana Ibu melihat potensi pelanggan di sini?” saya bertanya. “Apakah ada waktu tertentu di mana pelanggan lebih ramai?”

Bu Siti terdiam sejenak, seolah-olah merenungkan pertanyaan itu. “Biasanya, saat akhir pekan, pengunjung ramai, terutama keluarga yang ingin makan sambil menikmati pemandangan laut. Namun, saat hari kerja, lumayan sepi.”

“Apakah Ibu pernah mempertimbangkan cara untuk menarik lebih banyak pelanggan di hari biasa?” Tari menyambung. “Mungkin dengan menawarkan menu spesial atau promo tertentu?”

Pemilik warungtersenyum. “Saya sudah berpikir tentang itu, tetapi saya tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Seringkali, saya bingung bagaimana cara mempromosikan warung ini.”

Mendengar itu, saya merasa ini adalah kesempatan untuk menggali lebih dalam. “Apa yang Ibu lakukan untuk mempromosikan warung saat ini?” saya bertanya lagi.

“Saya hanya mengandalkan mulut ke mulut dan sedikit media sosial,” jawabnya, menatap kami. “Tapi tidak banyak orang yang tahu tentang saya.”

Tari mengambil kesempatan untuk bertanya, “Ibu sudah melakukan promosi di platform mana saja? Mungkin Instagram atau Facebook?”

“Baru di Facebook, tapi saya tidak begitu aktif,” Ibu Siti mengakui. “Saya tidak tahu cara memanfaatkan media sosial dengan baik.”

“Media sosial bisa jadi alat yang kuat untuk menarik perhatian. Banyak orang mencari rekomendasi tempat makan di platform itu,” saya menjelaskan. “Apakah ada hal lain yang menjadi tantangan bagi Ibu?”

“Kadang saya kesulitan untuk menjaga kualitas makanan, terutama saat pengunjung ramai,” jawabnya, dengan nada cemas. “Saya takut jika kualitas menurun, pelanggan tidak akan kembali.”

“Bagaimana Ibu menangani keluhan dari pelanggan?” Tari bertanya.

Ibu Siti mengangguk. “Saya selalu berusaha mendengarkan, tetapi kadang sulit untuk menerapkan semua saran karena keterbatasan waktu dan sumber daya.”

Kami terus berbincang dengan Ibu Siti, mendengarkan cerita dan tantangan yang dihadapinya. Dalam setiap kata, saya bisa merasakan dedikasi dan cinta Ibu Siti terhadap usahanya.

Setelah beberapa saat, kami pamit. Saat melangkah keluar, Tari terlihat antusias. “Gua rasa ada banyak potensi di sini. Warung ini bisa berkembang lebih jauh.”

“Iya,” saya menjawab, merasa semangatnya menular. “Tapi kita harus mengumpulkan semua informasi ini dengan baik dan menyusunnya dalam laporan.”

Saat kami berjalan kembali, Tari menghentikan langkahnya. “Renjiro, Gua boleh nanya sesuatu nggak? Lo kenapa ikut kompetisi ini?”

Saya terdiam sejenak, merenungkan jawabannya. “Sebenarnya, saya berjanji kepada ayah untuk berusaha keras dalam setiap kesempatan. Dia ingin saya fokus pada kuliah kedokteran, tetapi saya merasa ada hal lain yang ingin saya capai. Saya melihat potensi besar di industri game dan percaya pada kemampuan saya untuk berkembang di lini bisnis ini.”

Tari menatap saya, mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian mengangguk, memberikan dukungan tanpa kata-kata. “Itu alasan yang kuat buat berjuang. Tapi, lo yakin bisnis yang mau lo jalanin itu bakal sukses dan menghasilkan?"

"Tidak ada jaminan 100% saya bakal berhasil. Tapi saya percaya diri dengan ide bisnis yang saya punya," jawab saya mantap.

"Menarik. Gua harap lo nggak menyerah dan tetap berjuang buat impian yang lo punya itu."

"Terima kasih."

Saya dan Tari melanjutkan proses syuting. Total 4 warung makan di Tanjung Pendam yang sudah kami kunjungi. 

Selesai syuting, kru produksi meminta seluruh peserta berkumpul di sekitar gazebo untuk pengarahan sebelum pulang.

Saat kami mendekati titik kumpul tim, tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Saya membuka pesan yang muncul di layar.

“Gua berhasil dapat informasinya. Fokus ke rencana awal.”

Bersambung

BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang