08 - Hadiah Terakhir

269 39 2
                                    

Setelah memastikan Aluna mulai tenang, Ara dan Cakra memutuskan untuk tetap di kamar, berjaga menemaninya. Sementara itu, Revan pergi berbicara dengan kepala rumah sakit, memastikan keamanan Aluna lebih terjamin.

Cakra duduk di sofa yang ada di dalam kamar, memandangi Aluna yang masih tampak lelah. Di sisi lain, Ara duduk di kursi dekat tempat tidur Aluna.

"Aluna, aku ke kamar mandi dulu, ya, sebentar," ucap Ara lembut.

Aluna mengangguk pelan tanpa berkata-kata.

Ara menoleh ke Cakra. "Cakra, gue ke kamar mandi dulu, bentar."

Cakra hanya mengangguk, memberi isyarat untuk berhati-hati.

Setelah Ara keluar, suasana kamar menjadi sunyi. Cakra pun mendekat ke arah Aluna, duduk di kursi yang tadi ditinggalkan Ara.

"Aluna," panggilnya lembut.

Aluna mendongak menatap Cakra. "Iya?"

"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Cakra hati-hati.

Aluna hanya terdiam, sorot matanya terlihat kosong. Melihat itu, Cakra pun berdiri, berjalan ke sofa tempat jasnya terlipat rapi. Ia mengambil sesuatu dari saku jasnya, lalu kembali mendekat.

"Boleh saya pegang tangan kamu sebentar?" tanyanya, suara yang lembut dan menenangkan.

Aluna menatap Cakra bingung, namun perlahan ia mengulurkan tangannya. Cakra menggenggam tangan Aluna dengan lembut dan meletakkan sesuatu di telapak tangannya.

"Apa ini?" tanya Aluna, suaranya berbisik.

"Hadiah dari ibu saya," jawab Cakra, matanya menyiratkan kesedihan.

Aluna membuka telapak tangannya lebih lebar, menatap benda kecil berwarna putih yang terbuat dari manik-manik. "Tasbih?"

Cakra tersenyum kecil. "Itu hadiah terakhir dari ibu saya, sebelum beliau pergi."

Aluna menatapnya, lalu bertanya dengan suara pelan, "Pergi?"

"Iya, Ibu saya meninggal dua tahun lalu."

Aluna terdiam, menatap Cakra dengan pandangan yang tak terbaca.

"Kamu tinggal dengan ayahmu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut.

Cakra menghela napas, lalu menggeleng. "Ayah saya juga sudah meninggal ketika saya kecil."

Aluna menatap Cakra, pandangannya penuh simpati. Perlahan ia menatap tasbih kecil di tangannya dan tersenyum samar. "Terima kasih, Cakra."

"Kalau kamu belum bisa percaya kepada kami, percayalah kepada Allah, Aluna. Allah tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri."

Mata Aluna mulai berkaca-kaca, namun ada senyum kecil di bibirnya. "Terima kasih, Cakra... terima kasih."

Cakra membalas senyumnya. "Luna, kamu tidak sendiri. Ada saya, ada Ara, dan Revan. Kami akan menjaga dan melindungimu."

Aluna menunduk, menggenggam tasbih itu erat. Namun, tiba-tiba wajahnya berubah, sorot matanya penuh amarah dan rasa takut.

"Mereka itu jahat, Cakra. Mereka tidak punya hati… mereka penjahat." Air matanya mengalir, namun ada dendam di matanya.

Cakra mengerutkan kening, bingung. "Siapa mereka, Aluna?"

Namun, Aluna hanya menggeleng dan kembali diam. Melihat itu, Cakra tak ingin memaksa. Ia hanya tersenyum dan berkata, "Baiklah, kalau kamu tidak ingin menceritakan, tidak apa-apa. Sekarang waktunya makan siang. Kamu harus makan, ya?"

Aluna tersenyum kecil dan mengangguk. Cakra mengambil nampan yang tadi sudah dibawa suster. Saat menyiapkan makanan itu, ia bisa merasakan Aluna terus menatapnya.

Menyentuh LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang