"Bagaimana caranya ketika bibir mengucap ikhlas, sedangkan hati selalu menahan rintihan kesakitan, nyatanya segalanya memang masih rumit untuk sekadar diuraikan."
Praba sejak awal mengerti, jika ada hal yang janggal dalam diri sang istri. Mungkin yang nampak dipermukaan terlihat normal seperti pada umumnya, namun jika dilihat dengan seksama sikap sang istri terasa tak terbiasa. seolah memberi sekat tak kasat mata yang selalu membuatnya merasa ada batasan diantara mereka. Diamnya bukan berarti tak peduli, dia masih memantau apakah penilaiannya itu benar atau hanya sekadar asumsinya belaka.
Mungkin mereka perlu berbincang dengan seorang ahli, sekarang efeknya tak terasa tapi siapa yang bisa menjamin masa depan. Hal itulah yang selalu menjadi ketakutan terbesar Praba, dia hanya takut akan terbawa arus hingga tak bisa mengkontrol dirinya. Diam tak selamanya membawa pada hal yang baik. Jika mereka terus membiarkan masalah ini berlarut-larut hanya akan menciptakan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dampaknya jelas akan lebih besar dibanding dengan mengatasinya sedini mungkin.
"Mas rasa kita perlu untuk berkonsultasi di psikolog," ucapnya pada sang istri ketika mereka tengah berbincang sore.
"Untuk apa? Aku rasa kita tak memerlukan itu," sangkal Kala.
"Terkadang kita tak pernah menyadari ada perubahan dalam diri kita, justru sebaliknya orang lain akan menyadari ada hal yang janggal yang tak kita rasakan. Makanya Mas rasa kita berdua perlu bantuan."
"Aku takut," ucap Kala gelisah.
"Ada Mas di sini, kita hadapi bersama."
Memang Kala tak langsung mengiyakan usulan dari sang suami, namun dia berpikir jika tidak ada salahnya menyetujui ucapan sang suami. Hatinya memang merasa tak nyaman, tapi ada benarnya. Mereka setelah ini akan menjadi orang tua, jika belum menuntaskan dengan dirinya kasian anak mereka nanti. Dia ingin menuntaskan segala kerumitan itu agar tak menjadi sebuah batu sandungan nanti.
Kadang tanpa terasa banyak momen yang menyadarkannya jika dia terlalu defensif. Sering kali suka menghindari apapun yang berpotensi melukai dirinya. Sedangkan menghindar tak benar-benar menyelesaikan masalah. Hanya semakin menumpuk masalah itu menjadi sebuah bom waktu. Dia beruntungnya lagi memiliki Mas Praba yang tak pernah lelah mengajaknya untuk keluar dari zona nyamannya.
"Mungkin kita perlu berlibur beberapa hari," ajak Praba pada sang istri.
"Terus kerjaan Mas gimana?"
"Urusan kerjaan Mas itu biar mas pikirkan, tapi kita butuh mengambil waktu untuk liburan."
"Memang Mas mau ajak ke mana?"
"Kamu mau ke mana?" tawar Praba.
Sejujurnya Kala bingung ketika ditawari liburan oleh suaminya, tiba-tiba banget memang. Suka heran memang, padahal kalau dilihat-lihat memang pekerjaannya tuh banyak banget, tapi selalu punya waktu untuk sang istri. Bahkan rasa-rasanya setelah menikah hampir tidak pernah sekalipun melakukan kegiatannya seorang diri. Selalu bersama Praba melewati hari-harinya. Bahkan tak sekalipun sang suaminya absen mendampinginya, seperti kalau bisa bersama buat apa melakukannya seorang diri.
Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan, jadi liburan kali ini Praba memilih mengajak sang istri untuk menghabiskan hari di Bali. Tentu saja mereka terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter kandungan, antisipasi untuk keamanan calon ibu dan anak. Tentu saja siapapun tak ingin mengambil resiko untuk orang-orang tersayangnya, termasuk calon ayah yang satu ini. Setelah memastikan semuanya aman, mereka pun mulai berkemas. Jelas yang paling heboh adalah Praba. Entah kadang Kala pun heran dengan kelakuan pria bertampang sangar ini, selalu membuat dia mengaga sangking takjubnya. Herannya itu yang membuat hatinya kian mantap bersama pria yang kini telah menjadi suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Bersama
Chick-LitApa artinya pulang jika tak pernah memiliki ruang untuk bersama. Mereka yang terbiasa diabaikan tak tahu caranya memberi sebuah perhatian. Begitu juga dengan sebuah kehampaan karena selama ini merasa selalu di buang dan diasingkan. Cara semesta memp...