Prologue

107 19 3
                                    

Sasuke duduk di ujung kasurnya. Mata gelapnya dengan kosong menatap lurus permukaan lantai berlapis marmer yang licin dan dingin. Udara di dalam ruangan mampu membuat siapapun menggigil tetapi kedua telapak tangannya justru berkeringat seakan matahari tepat berada di atas kepalanya. Ia masih mengenakan setelan jasnya yang mulai kusut dengan samir kehormatan yang menggantung layu di lehernya.

Hari itu merupakan hari kelulusan Sasuke di SMP Ookayama, salah satu sekolah menengah pertama terbaik di Tokyo, Jepang. Ia lulus dengan gelar kehormatan, siswa terbaik di angkatannya, seperti yang selalu diekspetasikan kedua orangtuanya.

Sasuke tidak pernah mengecewakan kedua orangtuanya.

Bahkan hingga detik ini, Sasuke terus berusaha menjadi anak emas, seperti kakaknya, Itachi. Meskipun ia sangat mengagumi dan menghormati kakak laki-lakinya tersebut, Sasuke tetap tidak mau kalah. Kalau bisa, ia harus menjadi lebih baik dari Itachi.

Ponsel genggamnya berdering tiba-tiba, membuatnya hampir tergelincir dari tangannya yang lembap. Sebuah notifikasi pesan datang dari Sakura, gadis musim semi yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali Sasuke menginjakkan kaki di SMP Ookayama. Keduanya berada di kelas yang sama, kelas unggulan yang diisi oleh murid-murid berprestasi dengan nilai tertinggi.

Sasuke dan Sakura, meskipun kepribadian keduanya sangat jauh berbeda, isi kepala mereka malah lebih canggih dari kebanyakan orang dewasa kebanyakan. Cerdas dan atraktif. Keduanya aktif mengikuti banyak olimpiade akademik dan tak pernah tergeser dari peringkat utama.

Sasuke dan Sakura adalah pasangan yang sempurna, begitu pikir murid-murid lain. Meskipun orang dewasa akan menganggap hubungan mereka hanya lah sekadar cinta monyet.

Tapi memang mereka adalah pasangan yang sempurna.

Sasuke sangat menyukai Sakura, begitu juga sebaliknya.

Memangnya ada yang bisa memisahkan mereka?

Tentu saja.

Sasuke buru-buru menyingkirkan ponselnya dalam diam kala indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki yang semakin dekat, disusul oleh suara pintu yang terbuka.

Sang pelaku, Mikoto Uchiha tak perlu repot-repot mengetuk pintu kamar putra bungsunya sendiri. Senyum lembut diwajahnya menggantikan kata sapa sehingga ia tidak perlu berbasa-basi.

"Sasuke ...," ucapnya pelan. "Selamat atas kelulusanmu. Ibu dan ayah sangat bangga kepadamu."

Sasuke mengangguk pelan. "Terima kasih," balasnya.

Mikoto memiringkan kepalanya. Kedua iris gelapnya memandang Sasuke tak hanya penuh rasa kasih, tetapi juga penuh akan rasa harap dan tuntutan. Wanita paruh baya itu mengambil beberapa langkah mendekati remaja berusia lima belas tahun tersebut, tapi tetap mempertahankan batas jarak privasi di antara keduanya.

"Jadi-"

"Aku sudah memutuskannya."

Mikoto tertegun sesaat. Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Sasuke lebih dulu memotongnya. Kedua pasangan ibu dan anak tersebut saling menatap dalam diam, membiarkan kesunyiah mengambil alih suasana untuk beberapa waktu.

"Ibu tidak perlu khawatir." Sasuke menatap Mikoto lekat-lekat sebelum menyelesaikan kalimatnya, "Hubungan kami sudah berakhir."

Senyum Mikoto tetap sama lembutnya seperti sebelumnya. Tak semua orang menyadari bahwa terdapat sedikit kepuasan di raut wajahnya yang cantik.

"Sasuke ...." Mikoto kini meletakkan telapak tangan kirinya di pundak kanan Sasuke. "Semua akan baik-baik saja," bisiknya.

"Masa depan yang cerah sedang menantikanmu."

Kalimat tersebut menjadi penuntas dari percakapan singkat keduanya. Dengan langkah anggun, Mikoto berjalan ke luar kamar sebelum menutup pintu kamar Sasuke kembali. Meninggalkan sang remaja masih duduk termenung di ujung ranjang berukuran king size dengan dominasi warna putih dan abu-abu.

.

.

.

.

Di tempat lain, seorang gadis berhelai merah muda tampak tersedu-sedu di atas kasurnya. Ia menekan wajahnya ke bantal, membuat suara isakannya terendam sehingga tak ada satu pun orang yang dapat mendengarnya. Matanya bengkak dan tubuhnya bergetar tak karuan. Sesekali ia memukul kepalanya dengan kedua kepalan tangannya. Tapi tetap saja rasa sakit yang ia rasakan ke tubuhnya tidak seberapa dengan rasa sakit di hatinya.

"Kenapa ...? Kenapa dia melakukannya ...?" bisiknya rapuh kepada dirinya sendiri.

Sakura, nama gadis itu.

"Sialan! Sialan! Sialan!"

Sakura bolak balik membuka ponselnya, tapi tak satu pun balasan atas puluhan pesan yang ia kirim selama satu jam terakhir. Pesan yang ia terima satu-satunya, dan mungkin yang terakhir adalah:

'Kita putus.'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

In Another CountryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang