Sepuluh tahun kemudian....
Di usianya yang baru lima belas tahun, Canny telah menghadapi kenyataan hidup yang lebih berat dari teman-teman sebayanya. Dengan rambut hitam panjang dan mata yang tajam penuh semangat, dia adalah sosok yang mandiri dan cerdas. Sejak kecil, ia terbiasa mengurus rumah dan merawat ayahnya yang sakit. Bagi Canny, hidup adalah tentang menerima dan menghadapi tantangan dengan tabah, meski kadang rasa lelah menggelayut di hati kecilnya.
Canny bukan gadis yang suka mengeluh. Ia menerima beban yang tak seharusnya ia pikul di usia muda ini dengan senyum kecil dan hati yang kuat. Setiap pagi ia bangun lebih awal untuk memastikan ayahnya sarapan sebelum berangkat sekolah. Ia selalu tampil tenang di depan ayahnya, menyembunyikan beban berat yang dirasakannya setiap hari.
Pagi itu, di dapur kecil yang penuh aroma hangat, Canny sedang sibuk menyiapkan sarapan sederhana untuk ayahnya. Dengan tangan kecil yang sudah terbiasa, ia memotong roti dengan hati hati dan mengoleskan mentega tipis-tipis di atasnya.
"Yah, hari ini kita sarapan roti lagi, ya," katanya sambil menyodorkan piring kepada ayahnya, matanya berkilat penuh perhatian.
Ayahnya menatapnya dengan tatapan penuh kasih dan sedikit rasa bersalah. "Kamu selalu berusaha, nak. Maaf, Ayah tidak bisa memberimu lebih."
Canny hanya tersenyum, menenangkan. "Gapapa yah, Kita masih bisa makan bersama, itu sudah cukup."
"Ayah, mau telur rebus atau telur dadar?" tanyanya sambil berbalik ke arah ayahnya yang duduk di meja makan.
Taehyung tersenyum tipis, meski wajahnya tampak lelah. "Telur rebus saja, sayang. Tidak perlu repot."
Canny mengangguk, senang bisa membantu. Baginya kebahagiaan ayah adalah hal yang berharga, meski dalam keterbatasan dan kesehatannya.
Setelah menyelesaikan sarapan, ia menyiapkan segala keperluan bersekolah, ia tetap menyempatkan waktu untuk bekerja paruh waktu sepulang sekolah, untuk membantu memenuhi kebutuhannya dan juga ayahnya.
"Ayah, nanti jangan lupa minum obat ya. Canny sudah letakkan di meja kecil samping tempat tidur," ucapnya mengingatkan ayahnya yang mulai pelupa karena sering sakit.
Ayahnya mengangguk pelan, seolah memahami namun dengan tatapan yang kosong. "Kamu selalu ingatkan ayah, ya? Maaf, nak... ayah tidak bisa melakukan banyak hal untukmu."
Canny tersenyum, menenangkan. "Tidak apa-apa, Ayah. Kalau bukan kita yang saling menjaga, siapa lagi?"
Kehidupan mereka mungkin sederhana, tapi canny menemukan kebahagiaan dalam setiap hal kecil yang dilakukan untuk ayahnya. Di sela-sela waktu, ia sering kali merenungkan bahwa meski kakak-kakaknya dan ibu telah pergi, ia dan ayahnya masih punya satu sama lain.
Setelah memastikan ayahnya sudah minum obat dan sarapan dengan baik, Canny bergegas mengambil tasnya. Dengan cekatan, ia menyiapkan seragam dan perlengkapannya, memastikan semua tertata rapi agar tidak terlambat ke sekolah. Hari-harinya selalu di mulai dengan rutinitas yang sama, mengurus ayahnya, lalu berangkat dengan langkah cepat menuju halte bus.
Di perjalanan, pikirannya melayang ke tugas-tugas yang harus di selesaikan di sekolah. Baginya sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga satu-satunya pelarian dari segala beban yang ia pikul di rumah. Ia selalu berusaha keras di sekolah, bertekad untuk meraih prestasi demi mempertahankan beasiswanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/377797874-288-k166715.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Bayang Ibu (End)
RandomCanny, seorang gadis kecil berusia lima tahun, harus menghadapi kenyataan pahit setelah di tinggal pergi oleh ibunya dan keenam kakak perempuannya. Hidupnya berputar di sekitar perawatan perawatan ayah yang sakit dan berjuang dengan keterbatasan eko...