Satu kejutan yang Naida dapati pagi ini ketika membuka ponsel yang sudah ia isi daya semalaman adalah pesan dari ketua komunitasnya yang meminta dibuatkan pie buah untuk acara lamaran putri sulungnya.
Kan? Foto pie buah yang ia unggah memang menggugah selera. Tidak tanggung-tanggung, ibu ketuanya langsung meminta pesanan dalam jumlah banyak.
Maka disinilah ia berada, di dalam mobil Sandi dengan tujuan menebeng ke pasar sekalian laki-laki itu berangkat ke kantor.
"Nanti pulangnya pesan taksi online aja, ya, Noi?"
"Iya, Mas."
"Jangan lupa kabari aku kalau udah sampai rumah."
"Iya, siap."
Hanya butuh sepuluh menit perjalanan untuk ia sampai ke pasar. Dibukanya seatbelt, sedang Sandi sudah di luar membukakan pintu untuknya. Ia keluar ketika sudah memastikan tidak ada keperluan lagi di dalam mobil. Menyalami tangan Sandi, begitu kakinya hendak melangkah, Sandi menarik telapak tangannya, menaruh sejumlah uang yang ia tak tahu berapa jumlahnya.
"Aku tambahi kalau kamu ada perlu mau beli di luar keperluan pesanan pie buah," ucap Sandi seraya menutup telapak tangannya yang sudah diisikannya sejumlah uang.
Ia menyengir lebar, "Terima kasih, Mas."
*______*
Baru dua jam ia berada di kantor, tiba-tiba telepon masuk dari salah seorang asisten rumah tangga di rumah maminya. Info yang didapat, mami terjatuh di halaman ketika sedang menyusun pot bunga bersama pembantunya itu.
Diparkirkannya mobil di garasi, tanpa salam ia langsung masuk begitu saja. Kondisi rumah cukup ramai, beberapa saudaranya sudah ada yang datang membantu.
Kepada pamannya ia bertanya, "Mamiku gimana, Om?"
"Kakinya terkilir, ada nyeri di bagian pinggang juga kayanya karena shock yang berlebih. Jangan ditanya macam-macam dulu, tunggu keadaan tenang biar mamimu nggak makin shock."
"Nggak dibawa ke rumah sakit aja, Om?"
"Udah telepon dokter, sebentar lagi sampai."
Ia menghembuskan napasnya sejenak. Alih-alih melihat kondisi sang mami, kakinya justru beranjak ke dapur. Menuang air serta meminumnya, seraya merilekskan dirinya setelah kebut-kebutan di jalan saking paniknya.
Dia nggak punya siapa-siapa lagi selain mami. Maksudnya, dalam konteks orang yang harus ia hormati dan hargai dalam hidupnya. Sebagaimana ia yang menyesal ketika kematian papi yang tiba-tiba dan dirinya tidak begitu mempedulikannya saat itu. Kepada mami, ia tidak ingin berulah yang sama. Tidak ingin mengabaikan barang sedetik apapun itu yang berkaitan soal mami. Ia tidak ingin membuat penyesalan baru dalam hidupnya.
Sudah, ia kembali ke ruang tamu tempat saudaranya berkumpul. Keluarga yang datang tentu kebanyakan dari keluarga mami. Sebagai anak pertama, keadaan dan kondisi mami menjadi perhatian lebih bagi adik-adiknya. Nggak heran, kalau mami sedang ada secuil problem tentulah rumah langsung ramai kedatangan adik-adik kesayangan mami—paman dan bibinya.
"Lu izin berarti, San?" tanya salah seorang sepupunya begitu ia menduduki sofa.
"Iya."
"Masih sering ketemu Om Heri lu berarti?"
"Jarang, Om Heri sibuk ngurus yang di Singapur."
"Bisa-bisa kantor yang di sini bakal pindah tangan ke lu, San."
"Enggaklah."
"Iyain aja orang mah, biar diaminin malaikat."
Candaan sepupunya ia tanggapi dengan kekehan ringan. Sebagai karyawan perusahaan yang masuk tanpa tes dan interview, ia tidak terlalu berharap lebih ingin naik jabatan atau apapun itu. Lebih-lebih memiliki kuasa sebagai pimpinan perusahaan. Oh, sama sekali nggak pernah kepikiran. Jadi karyawan dengan benefit yang super banyak saja ia sudah sangat bersyukur. Seperti ini, izin di tengah jam kerja saja pamannya langsung men-approve permohonan izinnya.
Om Heri, kakak kandung papinya merupakan orang yang teramat baik mengulurkan tangan ketika bisnis rintisannya berantakan tak terurus setelah kepergian Nindy dan Papinya. Awalnya, pria itu menawarkan modal untuk kembali membangun atau memperbaiki bisnis yang sudah berantakan tersebut.
Namun ia tolak, merasa tidak enak. Karena jujur saja tidak cukup sejuta dua juta untuk ia kembali merintis bisnisnya. Mengerti akan keraguannya, Om Heri menawarkan kursi karyawan tanpa tes dan interview untuknya. Yah, dengan segala kebaikan Om Heri padanya, ia tidak pernah berpikir sampai jauh untuk bisa menguasai perusahaan. Setidaknya ia akan menjaga diri dari sesuatu yang membawanya pada ketamakan.
Di kamar tempat maminya berada, hanya ada Tante Mai, adik mami yang paling tua. Keberadaan Tante Mai cukup membuatnya tenang. Pasalnya mami lebih dekat dengan Tante Mai daripada saudaranya yang lain.
Dokter datang, seisi rumah refleks berubah tegang. Sandi berdiri dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran namun berusaha terlihat tenang. Bahunya sedikit tegang, matanya sesekali melirik ke arah pintu ruangan tempat maminya berada, menunjukkan rasa gelisah yang sulit ia sembunyikan. Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur emosinya, meskipun jemarinya terketuk-ngetuk tanpa sadar menunjukkan kegundahannya. Ada rasa lega karena tahu maminya sudah ditangani dokter, namun matanya tetap menunjukkan perasaan khawatir yang dalam.
Adik sepupunya menoel lengannya di tengah kalut kekhawatiran. "Mbak Nai udah dikasitau kalau mami jatuh, Mas?"
Ia menggelengkan kepala pelan. Belum, ia belum membuka ponselnya. Bukannya tidak ingin memberi kabar, hanya saja niatnya ia ingin sekaligus memberi informasi dari hasil pemeriksaan dokter nanti.
"Kasitau gih, nanti kalau Mbak Nai datang ke sini dijamin mami langsung sembuh, deh. Mbak Nai kan kesayangannya mami."
Menurut. Ia membuka ponselnya, satu pesan masuk dari Naida yang memberi kabar sudah kembali ke rumah.
From: Noi-Noi
Aku udh sampe rumah dgn selamat, Mas...
Tersenyum, langsung ia ketikkan balasan di sana.
To: Noi-Noi
Alhamdulillah
Skrg km lagi apa?
Tidak langsung di balas, di lihat dari statusnya sih, perempuan itu aktif sekitar lima belas menit yang lalu.
Ia berjalan ke luar, mencari tempat yang tidak cukup ramai orang. Berniat menelepon Naida untuk memberitahu kondisi mami.
Satu panggilan yang ia lakukan tidak terjawab.
Sekali lagi,
Masih tidak ada jawaban.
Mungkin Naida sedang tidak bisa diganggu. Dicoba sekali lagi, ini yang terakhir, jika tidak dijawab ia tidak akan menelepon lagi.
Sudah, Naida tidak mengangkat teleponnya.
*_________*
Naida tidak tahu bagaimana ini bermula, dirasanya ia hanya terjatuh dari ketinggian tak lebih dari setengah meter namun segalanya mulai terasa berat dan berputar. Pada awalnya, pandangan terasa sedikit buram, seperti kabut tipis menyelimuti segalanya. Suara di sekitar berubah menjadi dengungan samar, bergema jauh seperti dari ujung terowongan. Tubuhnya terasa semakin ringan, tapi sekaligus melemah, seolah-olah gravitasi menarik lebih kuat.
Saat kesadaran perlahan menghilang, hanya ada kegelapan yang melingkupi. Pada akhirnya, semua suara, warna, dan cahaya memudar menjadi senyap total. Di dalam kegelapan itu, mungkin hanya ada perasaan kosong, hampa tanpa ingatan atau kesadaran penuh—sebuah jeda yang tak bisa dijelaskan antara dunia nyata dan tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...