Chapter 60

113 13 15
                                    

Mumpung tugas udah kelar mending up aja. Gatel banget pengen up. Kangen Carel juga.

.
.

╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
                 CAREL                
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════╝
.
.
.

Keluarga?

Kekehan panjang terdengar sarkas dan menyebalkan. Manik hitam legam menyorot penuh amarah, seakan kobaran api berada di sana, meluap-luap bersiap untuk meledak. Adegan pelukan itu masih ada, berjarak tak terlalu jauh. Kira-kira, tak lebih dari sepuluh langkah dari pintu rooftop yang terbuka.

Dan sosok Barra di sana, memberikan tatapan paling menyebalkan. Menyeringai dengan sebelah tangan melambai, sangat, sangat menyebalkan. Jiken di tempatnya berdiri nyaris saja akan menyerbu dan mematahkan tulang tiap bagian tubuh Barra.

Berani sekali pemuda itu memeluk Carel, sementara Jiken di tempatnya berdiri masih diam menyaksikan. Tidak bergerak barang seinci, kecuali tangan yang terus terkepal kuat, sampai bergetar. Cairan merah kental pun meluncur keluar. Asalnya dari telapak tangan Jiken yang tertancap kuku jari.

"Keluarga, dia bilang?" Gumaman Jiken lebih mirip seperti desisan binatang buas yang kelaparan. "Dia nggak pantes. Cuman gue yang pantes! Cuman gue keluarga Carel! Bukan yang lain!"

Barra masih ada di posisinya. Memasang wajah amat menyebalkan dan memberikan senyum miring. Benar-benar mengejek. Jiken tak bisa lagi menahan diri, spontan membawa kaki panjangnya mendekat.

Jaraknya sekarang hanya dua langkah. Barra sekali lagi menarik sudut bibirnya memasang senyum miring yang kentara jelas. Jiken mengepal kuat sebelah tangannya. Membawa kakinya maju, dan langsung mendaratkan kepalan itu. Tepat menghantam hidung Barra yang langsung terdorong ke belakang, berakhir terduduk di lantai rooftop.

Carel mengangkat alis. Wajahnya benar-benar santai dan tenang, hanya tatapan matanya yang menunjukkan sorot kebingungan. Jiken di belakang tersenyum miring. Kakinya dengan santai melangkah maju, dua tangannya masuk saku celana.

Carel melirik sebentar. Wajahnya masih cukup santai, selain manik hazel itu yang menunjukkan sorot penuh tanya. Jiken mengangkat bahu, sebelum merangkul bahu Carel, sedikit mengusap-usap, membersihkan bekas tangan Barra di sana.

"Ngapain lo tonjok dia?"

"Dia udah berani meluk lo."

Carel mengerutkan kening. "Kenapa? Gue aja biasa, kenapa lo yang sensi?"

Jiken menarik napas pelan. "Dia nggak boleh, atau bahkan siapapun. Cuman gue yang boleh peluk lo."

Carel terkekeh. "Kenapa harus gitu?"

Jiken berdecak. "Karena cuman gue keluarga lo, cuman gue yang bisa. Dia, atau siapapun nggak bisa."

Carel berdecih. Benar-benar klise. Jiken cukup menyebalkan juga, selalu saja bertindak seolah dia yang paling pantas, seolah dia yang paling berharga. Carel benci dengan hal seperti itu. Hidupnya yang netral sangat tidak cocok dengan tingkah dan ucapan Jiken.

Carel mendekat dan mengulurkan sebelah tangan. Barra nyaris meraihnya, tapi tangan berurat Jiken lebih dulu menghadang. Langsung saja memegang lengan Carel dan menariknya menjauh. Barra yang sudah tersenyum langsung memudarkan lengkungan bibirnya, memasang wajah garang dan tatapan datar.

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang