17. Rahasia Nata

12 1 0
                                        

Aku masih terdiam dengan pandangan lurus ke arah Nata, sementara tanganku masih awet juga dalam genggamannya.

"Sarah..."

"Kamu seperti orang yang paling tersakiti, Nata."

"Jangan benci kamu, sementara rasaku sama kamu saja sudah berubah."

Ungkapan ku perlahan membuat genggaman tangan Nata padaku mengendur.

"Terima kasih, Nata." Ucapku, kemudian membuka pintu mobil.

"Tawaran ku masih berlaku, kalau mau ketemu Amara, boleh." Sebelum benar-benar keluar dari mobil aku kembali menatap Nata dan mengatakan itu.

Nata tidak menjawab, dia memalingkan wajahnya dariku. Aku benar benar keluar dari mobil Nata sepenuhnya, sampai masuk ke dalam gerbang, mobil itu masih terparkir di sana.

Mungkin Nata tengah menunggu Amara.

Dugaan ku di perkuat ketika masuk ke dalam rumah yang masih terdapat beberapa orang tamu, Amara berpapasan denganku di pintu masuk.

Kami bertatapan selama beberapa detik dengan Amara yang menyusuri penampilan ku dari atas sampai bawah. Setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan. Mengabaikan ayah yang tengah mengobrol di ruang tamu, langkahku tetap lurus menuju lantai atas dimana kamarku berada.

Langsung menjatuhkan tubuh di tempat tidur, aku mematikan lampu. Rasanya aku ingin seperti ini terus, hanya ditemani keheningan. Bunda juga di sana sudah tenang, baru juga satu hari tapi aku benar-benar merasa kesepian. Ku peluk guling kemudian memejamkan mata, berharap kalau di tidurku kali akan bertemu dengan bunda.

Baru saja lelap akan menjemput ku, suara pintu kamar yang terbuka membuat mataku kembali terjaga. Ku nyalakan lampu dan pandanganku langsung melihat ke arah sumber suara.

Ayah berdiri di sana membuat sekujur tubuhku langsung mendingin. Mau apa dia?

"Ayah kira sudah tidur."

"Mau apa?" Tanyaku

"Sarah, kita perlu bicara." Kata ayah, langkahnya semakin mendekat.

"Kalau ayah mendekat, maka seumur hidup kita tidak akan bertemu lagi. Lagi pula apa yang harus di bicarakan?"

Aku takut, benar-benar takut. Karena trauma ku atas ayah belum juga sembuh.

"Sarah, ini tentang bunda."

Mendengar kata bunda dari mulutnya, membuat emosiku sedikit terpantik. Bunda tidak boleh diucapkan oleh seseorang yang bahkan tidak menghargai keberadaannya.

"Jangan menyebut bunda."

"Sarah,—"

"Jangan menyebut namaku juga!"

Aku beringsut mundur sembari menutup telinga. Perkataan ayah seolah duri menyakitkan yang bisa membunuhku kapan saja. Aku tidak ingin dekat dengannya, bahkan mendengar suaranya pun aku tak mau.

"Maafin, ayah."

Kata maaf meluncur begitu saja, bahkan aku mendengar isakan. Mengucapkan kata maaf memang mudah, tapi apakah semua rasa sakit yang aku terima dan juga bunda selama ini bisa di bayar menggunakan kata maaf saja? Kata maaf itu tidak akan membuat bunda kembali, dan kata maaf itu tidak akan membuatku melupakan segalanya.

"Maaf untuk apa? Apa ayah merasa bersalah?" Aku mulai menatap ayah dengan berani, kemudian terkekeh sinis.

"Selama belasan tahun, kata maaf baru keluar sekarang? Apa ayah tidak bercanda?"

"Kita harus bicara, setelah ini gimana kamu Sarah."

"Bicara dari sana saja, jangan pernah mendekat ke arahku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Whitout You (SUDAH TERBIT DI TEORI KATA PUBLISHING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang