Part 8

40 14 0
                                    

Mata Meita sembab pagi itu. Semalaman ia menangis karena peristiwa naas itu kembali menghantuinya. Tidak pernah menduga dirinya terlibat dalam kejadian tersebut. Mengapa Tuhan seolah menghubungkannya dengan kehidupan pria itu. Dari dirinya lah yang membersih rumah dan satu fakta bahwa ia pun yang menolong keluarga Rangga saat kecelakaan terjadi. Meski Tuhan berkata lain. Tuhan lebih menyayangi mereka. Meita menjadi bertanya-tanya dalam hati.

"Kenapa harus seperti ini Tuhan," gumamnya. Tubuhnya lemas karena kehujanan semalam. Rasanya tidak sanggup bersama pria itu. Hanya mengungkit masa lalu yang menyakitkan. Meski bukan keluarganya yang kecelakaan. Tapi Meita memosisikan dirinya seperti keluarga korban. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya. Orang-orang yang di sayangnya meninggal dengan tragis.

Meita mencoba bangun, kepalanya pusing. Ia memegang keningnya. "Apa aku nggak kerja ya hari ini?" ucapnya. "Kepala sakit, badan juga lemes. Aku coba chat Ira minta izin dulu,"

Wanita itu mengambil ponselnya di nakas. Mencari chat Ira sebelumnya. Lalu mengetik untuk meminta izin. Ia tidak bisa bekerja hari ini. Bisa-bisa pingsan saat bekerja.

"Ra, aku bisa izin nggak ya. Aku lagi sakit nggak bisa masuk kerja dulu. Semalem keujanan. Kepalaku puyeng sama badan lemes banget."

"Kamu sakit?"

"Iya, Ra. Nggak enak badan."

"Yaudah kamu istirahat dulu. Atau ke Dokter, Mei. Biar dapet surat Dokter juga."

"Iya, Ra. Aku mau ke puskesmas aja nanti."

"Semoga cepet sembuh ya, Mei."

"Aamiin, makasih ya, Ra."

Meita mengusap wajahnya yang lelah. Ia melihat status-status di Whatsapp. Ada status adiknya. Di bukanya status tersebut. Adiknya sedang jalan-jalan di sebuah mall. Meita tertegun melihatnya. Ia membuka status lainnya. Adiknya sedang makan di food court. Hatinya bertanya-tanya dapat uang dari mana? Adiknya bisa seperti itu. Apa adiknya berbohong meminta uang pada ibunya untuk membayar ujian? Wanita itu menjadi berpikir.

Ia mengirim chat pada adiknya. Mengomentari statusnya yang sedang makan.

"Enak ya."

Lama tidak di balas-balas. Meita menjadi kesal pada adiknya. Hani bisa makan enak sedangkan dirinya harus mengirit demi keluarga. Padalah ia yang mencari uang. Terkadang adiknya itu pun sama. Tidak pernah mengkhawatirkan Meita sebagai kakaknya.

"Di traktir teman ini."

Balasnya singkat tidak menanyakan kabar Meita.

"Mama gimana kabarnya?"

"Kan bisa WA langsung ke Mama."

Meita geram. Adiknya itu kurang ajar sekali. Mereka memang selalu bentrok dalam hal apa pun. Meita yang selalu mengalah. Ibunya dan ayahnya selalu membela adiknya itu.

"Kamu kalau di tanya jawab yang sopan!"

"Aku sibuk."

Balasan Hani membuat Meita emosi.

"Kalau minta kuota atau uang nggak sibuk?!"

Sindir Meita kesal. Ia membanting ponselnya. Hanya adik bungsunya yang baik. Sayangnya adiknya itu tidak memiliki ponsel. Terkadang memakai ponsel ibunya untuk telepon Meita itu pun sebentar saja. Dengan alasan ibunya bilang kuotanya habis.

Dirinya memang di jadikan sapi perah oleh keluarganya sendiri. Meita tidak pernah merasakan hangatnya sebuah rumah dan kasih sayang. Ia pun kesal dan kecewa pada keluarganya sendiri. Ingin rasanya terlepas dari beban yang di tanggungnya. Ia ingin bebas. Tidak ada yang mengerti dirinya terutama keluarganya. Seperti saat ini Meita sedang sakit tapi tidak ada yang peduli. Baik orang tua atau adiknya. Padahal ia membuat status di Whatsapp sedang sakit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MEITA (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang