39.

48 6 6
                                    

Aku segera berlari, sambil menahan nyeri di antara kedua kakiku, ke ruang UGD setelah sampai di rumah sakit. Jerico mengantarku ke sini setelah dia puas denganku di atas meja makan. Aku melihat dua keluargaku sudah berkumpul di depan ruang operasi. Tidak ada Lucas.

Jerico ikut berlari di belakangku. Aku tahu dia hanya akting. Aku berjalan ingin menghampiri mamah.

Aku tidak menyangka kalau Tante Evelyn menyambar tubuhku dan mendorongku jatuh ke lantai. Aku sangat terkejut dan melihatnya dari bawah. Wanita itu tampak mengerikan dengan amarah di wajahnya.

"DASAR, KAMU ANAK SIAL!" jeritnya, berjongkok di depan wajahku.

Aku sangat shock atas apa yang kuterima darinya. Jerico buru-buru membantuku berdiri dan sedikit membuat langkah mundur agar aku menjauhi Tante Evelyn, ibu tiriku. Aku bersembunyi di balik tubuh Jerico.

Kata-kata terakhir yang ingin kudengar di dunia adalah "anak sial". Aku memejamkan mata, air mataku jatuh lagi. Aku takut.

"EVELYN! BERANINYA KAMU!" teriak mamah murka.

Aku melihat mamah berlari lalu menjambak rambut ibu tiriku. Tante Evelyn membalasnya dengan menghantamkan tasnya ke kepala mamah. Mamah tidak mau kalah dengan menginjak kaki Tante Evelyn menggunakan heels.

Kedua wanita dewasa itu saling menjerit antara marah dan sakit. Tidak ada yang mau mengalah.
Saat Papah Hendra berhasil menarik tubuh mamah menjauhi Tante Evelyn.

Ibu tiriku itu kembali ke arahku. Aku mulai gemetaran.

"Gara-gara kamu Mas Paris celaka!" katanya, matanya melotot. "Coba kalo kamu gak bikin masalah setiap saat, beliau gak akan jadi begini karena kamu!"

Celine datang merangkul pundak ibunya, membujuk, "Mah, udah, mah."

Jerico semakin membawaku lebih  jauh dari mereka.

"Biarin aja, Celine, jangan bela dia!" ucap Tante Evelyn, bernada lembut. "Dia harus tau kalo yang bikin ayah kamu celaka itu dia."

"Mas Paris kecelakaan mobil! Bisa-bisanya kamu bilang itu karena Jennie!" tukas mamah berang, masih berontak dipegangi oleh Papah Hendra. "Gak tau malu. Keluarga gak tau malu! Mas Paris itu papahnya Jennie, bukan ayah anak kamu!"

Papah Hendra mencoba menenangkan mamah dengan kata-kata dan itu tidak berhasil. Sementara itu aku lihat Celine mulai memegangi dadanya, menjauh lalu duduk di kursi tunggu.

Tante Evelyn berbalik menghadap mamah, "Mas Paris bilang dia mau nyelesaiin masalah Jennie sama kamu sebelum berangkat dari rumah. Kalau bukan karena anak kamu yang sial, yang udah bikin Mas Paris celaka, lalu apa hah?"

Mamah berhasil lepas dari jangkauan Papah Hendra, urat saraf tampak menonjol di kening dan lehernya, "Tutup mulut kamu, Evelyn! Aku akan bilang semua yang kamu katakan tentang Jennie ke Mas Paris kalau dia udah sadar. Gak tau diri banget ya kamu. Sebelum kalian merebut Mas Paris, Jennie itu anak kesayangannya. Kamu pikir Mas Paris akan terima kamu maki-maki anaknya di depan umum hah?"

Tante Evelyn memandang mamah tidak takut, "Cih, apakah anakmu itu sebanding dengan anakku? Mas Paris akan lebih memilih Celine karena dia ingin anak yang pintar!"

Mamah menampar wajah Tante Evelyn, "Jelas anakku tidak sebanding dengan anakmu yang kamu jadikan produk itu! Lihatlah penampilan anakmu sendiri sebelum membandingkannya dengan anakku yang sangat cantik dan sehat! Wajah Jennie bahkan mirip dengan orang yang kamu sebut sebagai ayah dari anakmu. Apa kau tidak malu menghina anakku seperti itu di saat papahnya menerima kekurangan anakmu?"

Tante Evelyn berteriak murka, "Kurang ajar kamu!"

Mereka kembali baku hantam. Petugas rumah sakit berdatangan dan memisahkan mereka. Aku tidak tahu Mamah Miranda dan Tante Evelyn dibawa ke mana setelah itu, Papah Hendra mengikuti mereka.

Beliau memberi nasihat ke Jerico, "Jaga Jennie, Jerico."

Setelah itu aku hanya bisa menunduk, sedih.

Jerico berbalik menghadapku setelah koridor sepi, berbisik, "Liat apa yang udah lo lakuin, Jennie."

Aku merinding sekujur badan. Ketakutan luar biasa. Aku mulai menyalahkan diriku sendiri atas apa yang terjadi ke papah.

Andai tadi sore aku tidak gegabah dan menekan egoku lebih kuat lagi. Aku merosot ke lantai lalu memeluk lututku, menangis terisak sambil menunduk.

Semua salahku.

Tak berapa lama kemudian pintu UGD terbuka, seorang dokter pria yang sudah tua keluar dari dalam. Celine yang duduk paling dekat dengan pintu segera bangkit. Kami menghampiri dokter itu.

"Dok, gimana kondisi ayah saya?" tanya Celine, mendahuluiku.

Aku hanya bisa menggigit lidah sesudahnya. Ibu dan anak itu sangat menjengkelkan. Mereka semua mencuri peran yang seharusnya jadi milikku.

Meski demikian aku terlalu lelah untuk mendebat Celine. Kali ini aku berdoa apapun yang keluar dari mulut  dokter itu, semuanya adalah kebaikan mengenai papah.
Aku takut papah meninggal akibat kecelakaan. Yang pada dasarnya disebabkan oleh keegoisanku dengan menantang Jerico.

Jerico. Si serigala menyeramkan itu. Hatiku menangis ngeri atas apa yang dia lakukan pada papah dan tubuhku sebelum datang ke rumah sakit.

"Syukurlah papah Anda sudah melewati masa kritisnya. Beliau saat ini masih belum sadar dan akan dipindahkan ke ruang rawat.  Anggota keluarga boleh menjenguknya kalau beliau sudah  sadar, " jelas dokter tua itu.

Celine mengatakan baik dan membiarkan dokter itu pergi. Beberapa lama kemudian, para suster mulai mendorong brankar papah keluar dari ruang UGD. Aku melihat kepala papah diperban dan hatiku sakit saat menyadari beliau yang dulunya sangat gagah tampak tak berdaya dengan pakaian pasien rumah sakit. Aku, Celine, dan Jerico mengikuti mereka ke ruang VVIP,  tempat papah dirawat untuk sementara waktu.

Ini semua salahku. Bahkan meski tidak diperingati oleh dokter, aku tetap tak akan berani masuk ke ruang rawat beliau. Aku takut. Ini semua salahku. Aku sial.

"Jennie, kita duduk dulu," ajak Jerico, berdiri di sampingku.

Aku tidak menggubrisnya. Aku hanya akan berdiri di depan pintu kamar papah. Sekitar satu jam kemudian, dan para orang tua sudah kembali dalam keadaan tenang juga rapi, pintu kamar VVIP papah di buka oleh seorang suster.

Suster memberitahu, "Pasien sudah siuman dan ingin bertemu dengan anaknya. Silakan masuk."

Papah ingin bertemu anaknya ... apakah itu artinya dia ingin melihat Celine? Celine sudah seperti sumber kebahagiaan bagi papah. Sementara aku?

"Awas, gue mau masuk!" sentak Celine, meski begitu wajahnya terlihat bersyukur dan bahagia.

Aku melangkah satu kaki, mundur. Responku langsung membuat Celine terkejut. Mungkin dia tidak mengharapkan aku menurutinya. 

Celine sepertinya memang sangat menyayangi dan menghargai pengganti ayahnya yang sudah tiada. Papahku. Dengan memikirkan itu langkahku tidak akan terlalu berat, nanti saat aku memilih pergi.

Kini aku hanya terlalu takut untuk menemui papah. Bagaimana kalau beliau tahu jika akulah penyebab beliau celaka? Aku sudah tidak disenangi sebagai anak karena ada Celine, aku takut papah juga akan berpikiran sama seperti Tante Evelyn.

Bahwa aku hanya membawa ketidakberuntungan bagi orang tuaku.

Dan ... jika keinginanku hanya membahayakan orang-orang yang kusayang, lebih baik aku pergi dari hidup mereka. Itu adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang