selamat membaca!
_____________Kos lamaku digusur begitu saja. Tanpa peringatan. Pemiliknya mendadak datang, menyodorkan surat pemberitahuan pendek, lalu pergi—seakan hidupku semudah itu diatur dengan selembar kertas.
Mencari tempat tinggal baru di tengah bulan bukan perkara gampang. Setelah dua hari mencari tanpa hasil, akhirnya aku menemukan tempat di sebuah gang kecil, jauh dari jalan raya.
Bangunan kosan itu sudah tua dan berderit di beberapa sudut, tapi harga sewanya masih dalam batas wajar. Setidaknya aku bisa tidur nyenyak di sini.
Pemilik kosnya, seorang ibu-ibu dengan rambut digelung rapi, membawaku ke lantai dua sambil terus bicara ramah.
“Kamar 202, ini kamarmu.” Dia menunjuk pintu di ujung lorong, lalu melirikku sambil tersenyum. “Kamu namanya siapa, nak?”
“Beomgyu,” jawabku singkat.
“Beomgyu, ya. Semoga betah, ya,” katanya seraya membuka pintu kamar. “Oh, tetanggamu di kamar sebelah, 201, anak muda juga. Dia jarang ngobrol, tapi tidak pernah bikin masalah.”
Aku hanya mengangguk, tak terlalu peduli soal tetangga baru. Yang penting, aku bisa segera menata barang-barang dan istirahat.
Begitu pintu kamar kututup, bunyi derit pintu lain terdengar dari sebelah.
Kulihat dari balik celah pintu kamar yang masih terbuka sedikit—sosok pria dengan hoodie hitam dan rambut berantakan melangkah keluar dari kamar 201.
Matanya kosong, tatapannya datar. Dia melewatiku begitu saja, seolah keberadaanku tidak lebih dari bayangan.
“Ehm... hai?” aku mencoba menyapa.
Dia hanya menoleh sekilas, tanpa kata, lalu mengangguk kecil—kalau itu bisa disebut anggukan. Setelah itu, dia melangkah pergi, meninggalkan aroma rokok samar di udara.
Aku menarik napas panjang dan menutup pintu rapat-rapat. “Kayaknya anak itu bukan tipe orang yang suka kenalan,” gumamku pelan.
[[ B O Y N E X T D O O R ]]
Aku tidak ingat kapan terakhir kali merasakan kasur sekeras ini.
Matras tipisnya terasa seperti tumpukan kain yang dipaksakan menjadi tempat tidur. Kipas angin di langit-langit berputar malas, menyebarkan udara pengap dari kamar yang sudah lama tak ditinggali.
Tapi aku tak punya pilihan lain. Ini lebih baik daripada tidur di jalan.
Setelah membongkar sebagian isi koper, aku menyempatkan diri melihat sekeliling kamar.
Ukurannya tak lebih dari lima belas meter persegi, dengan dinding berwarna kusam dan jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang.
Setidaknya ada meja dan kursi di pojok ruangan—cukup untuk membuatku bertahan sementara.
Suara langkah terdengar dari lorong di luar. Aku segera mendekati pintu, membuka sedikit untuk memastikan.
Kamar 201, yang tepat di sebelahku, tampak tetap tertutup rapat.
Kupikir mungkin aku bisa mencoba berkenalan lagi nanti... kalau dia tidak terlalu menyebalkan seperti tadi.
Saat aku berbalik ke dalam kamar, suara ketukan di pintu mengejutkanku. Dua kali, cepat dan mantap.
Aku membuka pintu, dan di hadapanku berdiri seorang perempuan seusiaku dengan senyum ramah.
“Hai! Kamu anak baru di sini, ya? aku Jiyeon.” katanya ceria, mengenakan kaos oversized dan sandal jepit.
“Eh, iya. Aku Beomgyu,” jawabku, agak kikuk.
“Selamat datang di kosan ini ya, semoga kamu nyenyak tidur di kasur barumu.” katanya sambil tertawa. “Aku di kamar 204. Kalau ada apa-apa, jangan ragu panggil aku, ya.”
Aku hanya mengangguk, merasa agak canggung dengan keramahan tiba-tiba ini. Jiyeon tampaknya tipe orang yang mudah berteman dengan siapa saja—kebalikan total dari penghuni 201.
“Oh, ngomong-ngomong,” Jiyeon menurunkan suaranya sedikit, seolah ingin berbagi rahasia. “Hati-hati sama tetanggamu di kamar sebelah. Dia emang nggak pernah ganggu siapa-siapa, tapi… dia sedikit aneh.”
“Aneh gimana?” tanyaku, tertarik.
Jiyeon mengangkat bahu. “Jarang ngomong, sering pulang malam, dan kalau pagi kamarnya udah selalu terkunci rapat. Nggak pernah benar-benar kelihatan ngapain aja. Cuma... rasanya ada yang janggal sama dia.”
Aku mencoba menelan informasi itu, namun sebelum bisa bertanya lebih jauh, Jiyeon melambai cepat. “Oke, aku harus pergi dulu. See you later, Beomgyu!”
Dia melangkah pergi, meninggalkanku dengan pikiran penuh pertanyaan.
Kembali di dalam kamar, aku mendapati diriku terdorong untuk memikirkan ucapan Jiyeon.
Apa yang sebenarnya dilakukan penghuni 201? Dan kenapa dia terasa begitu... jauh dan tak terjangkau, meski hanya dipisahkan oleh satu dinding tipis?
Suara derit pelan kembali terdengar dari lorong. Pintu 201 sedikit terbuka. Aku merasakan dorongan aneh—keinginan untuk mengintip dan mencari tahu lebih banyak.
Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih dekat, pintu itu tertutup kembali dengan pelan.
Aku berdiri diam di tempat, dada terasa sedikit berat. Ada sesuatu di sini, di tempat ini.
Bukan hanya penghuni 201 yang aneh, tapi suasana kosan ini seperti menyimpan rahasia yang menunggu untuk ditemukan.
Entah apa, tapi aku tahu satu hal: hidupku tidak akan tenang selama aku tinggal di sini.
TBC
YOU ARE READING
BOY NEXT DOOR -beomtae
HorrorBeomgyu yang baru saja pindah kosan, harus dihadapi dengan pemilik kamar disebelahnya yang terlihat cuek dan minim interaksi.