9. Mengapa

357 63 3
                                    

Mobil yang dibawa abi berhenti tepat digerbang sekolah, pagi ini cuaca cerah, secerah hati Nabila saat mendapat uang jajan dari sang ayah.

"Sekolah yang rajin ya,"

"Siap bos!" Nabila tersenyum seraya menaruh tangannya diujung alis seolah sedang hormat.

"Masih inget kan apa yang abi bilang kemarin?"

Gadis berseragam putih abu itu menurunkan tangannya dan mengangguk, "Iya bi." ia mencium tangan pria itu, "Kakak masuk dulu, assalamualaikum," ucapnya sembari turun dari mobil.

Sambil berjalan menuju kelas, Nabila mengeluarkan ponsel untuk mengabari temannya tapi tanpa disadari seseorang mensejajari langkahnya membuat ia refleks mengalihkan pandangan.

"Hai," sapanya.

Sejujurnya Nabila ingin menghiraukan orang itu namun rasa bersalahnya kemarin tak dapat dihindarkan, ia membalasnya lewat senyuman. "Tumben gak telat,"

"Eh jangan salah, aku gak pernah telat kecuali kalo bareng Roni." elaknya.

Nabila terkekeh kecil sembari memasukkan ponselnya kedalam saku, "Oh iya, kemarin abi ngomong apa aja sama kamu?" tanyanya sedikit mengadahkan kepala menatap lelaki jangkung itu.

"Katanya makasih putrinya udah dianter dengan selamat."

Mana mungkin abi seperti itu, pikir Nabila.

"Serius dong Powl,"

"Kapan-kapan ngopi cenah,"

"Paul!"

Lelaki itu terkekeh melihat wajahnya yang kesal, "Iya Nab, gak ada ngomong apa-apa."

Nabila menghela napas, meski Paul tidak berbicara yang sebenarnya, ia tetap tak enak. "Maafin sikap abi ya," ucapnya.

Paul tersenyum, "Wajar kok Nab, aku juga kalo nanti jadi bapak bakal posesif apalagi ke anak perempuan."

Ia mengangguk, syukurlah Paul mengerti.

Terdengar hembusan napas pelan dari Paul, matanya menatap lurus kedepan seolah ada sorot luka yang tak mau terlihat, "Kadang aku pengen diposisi kamu," tuturnya pelan.

Nabila menoleh, mengangkat sebelah alisnya heran. "Kenapa?"

"Iya pengen aja gitu ngerasain gimana sikap tegas seorang bapak, gimana rasanya disayang, gimana rasanya ngobrol berdua sama bapak." lanjut Paul sambil berkhayal betapa bahagianya jika moment itu terjadi padanya.

"Emang papah kamu kemana?" tanya Nabila hati-hati.

Paul terkekeh menutupi rasa sedihnya, "Aku aja gatau dia dimana."

Gadis itu terdiam.

Kehilangan peran ayah adalah hal yang tak pernah diinginkan seseorang, terkadang Paul ingin menyalahkan takdir tentang mengapa hidupnya harus begini, kemana ia akan melangkah sementara orang yang menjadi petunjuknya sudah pergi ditelan bumi.

"Aku benci dia Nab tapi bohong kalo aku gak rindu."

***

"Gimana kemarin kerkomnya?" Nadin memutar badannya kebelakang saat Nabila baru saja datang menyimpan tas.

"Banyak bercandanya tapi alhamdulillah udah beres," jawabnya tersenyum.

"Wah keren, gak salah sih soalnya kan pada pinter semua anggotanya." puji Nadin, "Pengen liat dong hasilnya, boleh gak?"

"Hasilnya ada di Paul cuma aku punya foto-foto waktu disana." Nabila menunjukkan layar ponselnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang