Halo semuanya~ Saya balik lagi, maaf kalau sebelumnya saya lama update, berhubung saya siswa dan kerjaan saya di dunia nyata lumayan banyak. Harap maklum...
______________________________________________________________
Tak banyak hal yang aku kerjakan di istana selain mondar-mandir berkeliling, mengunjungi mertuaku, bertanding, ataupun bermain bersama Clara. Tapi dari semua kegiatan keseharianku, ada satu hal yang paling aku gemari sampai saat ini. Berada di perpustakaan.
Tempat itu sepi, tenang, dan yang pasti dipenuhi segala jenis buku. Setidaknya, meski aku tidak lagi diizinkan bersekolah di sekolah umum, aku masih bisa menyerap ilmu melalui tumpukan dan jajaran panjang buku di perpustakaan ini.
Hubunganku dengan presiden tidak berubah, kami masih dalam kategori 'dingin' untuk dikatakan sebagai pasangan. Badanku makin hari makin terasa aneh tiap dekat presiden, dan itu hanya terjadi pada malam hari. Di mana semua itu akan berakhir dengan... ehem, 'aktivitas' malam.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, tubuhku terasa terbakar jika tidak disentuh presiden dan aku masih tidak tahu apa alasannya.
Pagi ini seperti biasa aku menyelesaikan ritual pagiku untuk bersih-bersih tubuh, dan seperti biasanya pula, aku mulai cekcok dengan presiden. Kami seperti kucing dan anjing. Aku kucingnya, dia anjingnya.
Sebenarnya perdebatan pagi ini hanyalah perdebatan kecil masalah bodyguard. Kau tahu, bodyguard-ku memang dikatakan yang terbaik untuk masalah pengamanan, sayangnya tidak dalam kepribadian. Aku kesal karena kumpulan orang-orang tak berhati itu ada dimanapun untuk mengawasiku. Lebih kesal lagi ketika mereka menerobos masuk saat aku dan Clara saling berteriak main-main. Mengganggu suasana.
"Aku tidak mau," ucap Presiden final.
"Ayolah! Mereka itu bukan manusia! Tak bisakah kau mengganti mereka dengan Clara, ia jauh lebih kompeten dibanding mereka,"
Presiden menutup buku yang dibacanya, kemudian menatapku. "Tidak," ia membenarkan posisi duduknya. "Clara masih bersekolah, ia tak bisa jadi bodyguard-mu,"
Aku memutar malas kedua bola mataku menatap presiden dengan sengit. "Ha-ha. Itulah yang dikatakan laki-laki 30 tahun yang menikahi perempuan 16 tahun yang seharusnya MASIH sekolah," sindirku.
Presiden sedikit kaget melihat sikapku, namun aku tak peduli. Aku langsung pergi meninggalkannya, menutup pintu kamar hingga menimbulkan suara berdebum yang mengagetkan. Langkahku aku percepat, ke mana pun, asal jangan berdekatan dengan presiden.
Dengan otomatis, kakiku melangkah menuju ruang favoritku, perpustakaan. Langkahku gontai dan terkadang aku tersandung kakiku sendiri. Sangat lucu. Beberapa pegawai istana yang melihat sikapku, diam-diam tertawa. Dan aku hanya bisa mendengus tanpa repot-repot menegur mereka.
Pintu besar yang aku nantikan ada di depan mata, buru-buru aku mengambil langkah seribu untuk memasuki ruangan itu.
Perasaan nyaman seketika menyelimutiku saat kulihat rak-rak berisi penuh buku menyapaku. Aku tak bisa menyembunyikan senyum dan rasa gembiraku. Bahkan rasa kesalku pada presiden tak begitu berarti saat ini --namun bukan berarti aku melupakannya--.
Aku segera menyusuri lorong di antara dua rak besar ketika aku berpapasan dengan Sophia, wanita yang menjadi pengurus perpustakaan ini. Dia tengah menata beberapa buku keluaran terbaru ketika matanya menatap sosokku.
"Hai, nyonya," sapanya hangat.
"Sudah berapa kali kukatakan, jangan panggil aku 'nyonya', cukup Airen," ingatku. "Dan, halo, Sophia,"
Sophia tersenyum. "Belum pernah selama satu dekade ini aku bertemu seorang 'nyonya'," ungkapnya.
Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi perkataan wanita lembut berkacamata itu. Ada perasaan aneh dalam batinku yang --entah apa-- begitu mengusik. "Hei, aku tak setua itu untuk dikatakan nyonya," aku mencoba bercanda dan tersenyum meski dirasa agak pahit.
ESTÁS LEYENDO
Mr. President
Acción[First book of the trilogy] Kutukan. Darah. Ambisi. Tahta. 4 Hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Hidup seorang pemimpin negara makmur bernama Aidelore. Bukan keinginannya untuk jadi pemimpin, tapi memang sudah tugasnya. -Marc...