31. Ilyas dan Jalan Buntu

980 177 139
                                    

|| 31: Ilyas's pov | 6170 words ||

Jantungku seperti mental ke mana-mana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jantungku seperti mental ke mana-mana. Tiap decit ban, tiap belokan, tiap bantingan setir—aku hanya bisa merasakan degup jantungku sendiri. Ujung-ujung jariku mendingin. Aku tidak bisa merasakan kakiku sendiri di bawah sana.

Parameter jalan sudah dipasang. Beberapa polisi masih sibuk mengarahkan penduduk yang tersisa untuk memasuki bus-bus evakuasi. Cal datang menabrak pembatas jalan, menghindari orang-orang yang teriakannya terdengar sampai ke dalam mobil kami, dan untuk sesaat yang singkat ban depan di sisiku tersasar naik ke atas emperan rumah seseorang.

Badanku menempel ke sandaran jok, lalu ke kaca, lalu mukaku hampir menghantam dasbor. Sabuk pengaman mengencang di lenganku yang menamengi Emma. Napasku berhenti dan melaju silih berganti. Aku melirik speedometer dan melihat jarumnya bergetar di angka 80 ... 100 ... 120 ....

Ada bundaran dengan tugu monumen di tengah-tengahnya, berdiri di antara perempatan jalan. Cal membawa kami berbelok melewati bundaran sampai seisi mobil condong ke satu sisi. Suaraku tidak bisa keluar. Nyawaku tertinggal di jalan satunya.

Di pangkuanku, Emma menjerit girang, "Ngueeeeeng!" menirukan deru mesin mobil. Mendengarnya membuatku bertanya-tanya apakah kegilaan Cal telah menular ke adikku. Perilakunya jelas sekali bukan turunan dari Pak Gun maupun Bu Miriam. Aku juga tidak ingat pernah mengajarinya bersorak menyambut kematian.

Cal tidak bercanda saat dia berkata kami bisa berada di jalan tol dalam lima menit. Dengan kecepatan orang waras, jarak panti asuhan ke jalan tol ini harusnya ditempuh dalam 15 menit lebih.

Kami berhenti tepat di hadapan pagar seng yang menghalangi area pemukiman dan jalan tol. Jalanan sepi di belakang. Tidak tampak anggota PN yang mengejar. Parameter jalan juga tidak ada. Bangunan-bangunan di sini sudah terbengkalai, ditinggalkan oleh para pemiliknya yang tidak mau tinggal berbatasan dengan jalan tol.

"Nah, sampai—" Cal membelalak saat menoleh ke belakang. "Astaga! Joo, maaf!"

Aku ikut menengok. Di jok belakang, si zombie sudah dalam keadaan tertungging, terjepit antara jok Cal dan dudukannya sendiri. Sebelah kakinya ditimpa kotak aki, kaki yang satu lagi mengangkangi jeriken minyak.

Cal segera keluar dari mobil dan membuka pintu belakang untuk membantu Joo bangun. Gadis itu lantas memanggul ransel di satu bahu, menenteng kotak aki di kepitan lengan satunya, dan menjinjing kedua jeriken bensin di masing-masing tangannya.

"Tunggu." Aku menarik napas gemetaran. Kubuka kaca jendelaku untuk mencari udara. "Lututku ... mati rasa."

Cal mengerjap lugu. "Kau pasti kelamaan mandi tadi."

"Atau karena seseorang mengemudi seperti minta mati."

Gadis itu menutup pintu belakang, lalu memutari mobil untuk mencapai sisi pintuku. Tanpa melepas pegangannya pada jeriken bensin, Cal mengait handle dengan jari kelingkingnya dan membuka pintuku.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang