Bab 2

68 3 0
                                    

Benz menyandarkan kepala, tangannya mengompres dahi dengan es batu yang dibungkus handuk. Bola terbang itu menghantam kepalanya cukup keras hingga membuat benjol dahinya.

    Sial!

    Kelas 2.11 sungguh - mereka tidak bisa bermain bola. Pemainnya bermain sendiri-sendiri. Sama sekali tidak ada kerjasama tim. Sangat kacau. Yang lebih kacau lagi adalah bagaimana bisa ia terhantam bola?

    Ugh. Kepalanya masih pusing. Ditambah lagi ketika ia siuman tadi, suara bersahutan saling tumpang-tindih dari teman-teman memanggil namanya, menanyakan kondisinya, membuatnya lelah.

    “Gimana? Masih pusing?” Wendy - kakak perempuan Benz - bertanya cemas dari balik kemudi setir. Ia langsung pergi menjemput adiknya setelah mendapat telepon dari Luis.

    “Masih.” Benz memejamkan mata. Tidak sanggup ia melihat jalanan malam, lampu sorot kendaraan. Benjolnya sesekali terasa nyeri. Ia harap benjolnya cepat kempes.

    “Gimana ceritanya bisa kena bola?”

    “Tauk, *Phi.”
(*Phi dibaca phī̀; panggilan kakak dalam bahasa Thailand).

    “Besok kalau masih pusing, kita periksakan ke dokter.”

    “Iya.”

    “Mau makan apa? Sekalian beli.”

    “Nggak selera.”

    “Oke. Drive thru aja, ya?”

    “Terserah.”

    Setibanya di rumah, Benz langsung disambut *maae yang cemas melihat benjol sebesar telur itik di dahi. Maae langsung menyuruh mbak asisten rumah untuk mengambil es batu dan mengganti dengan kompres yang baru. (*Maae dibaca mæ̀; ibu dalam bahasa Thailand).

    “Besok tidak usah masuk sekolah. Kita periksakan ke dokter.” Maae menggiring putra bungsunya ke kamar. “Karena ini, Maae tidak suka melihatmu main sepakbola. Ditendang, jatuh, coba lihat? Aduuh, wajah anak kesayangannya Maae...” Maae menangkupkan telapak tangan di pipi Benz.

    “Maae, ini hanya cedera ringan.” Benz coba menenangkan ibunya. “Tadi Dokter Ari - dokter sekolah - sudah memberiku obat. Katanya cukup istirahat saja. Benjolnya nanti akan kempes. Tenang aja, Maae. Jangan khawatir. Sekarang aku mau istirahat dulu.”

    Mbak asisten rumah datang membawa baskom plastik kecil berisi es batu dan handuk kecil.

    “Aku bisa melakukannya sendiri.” Benz mengambil baskom tersebut dari tangan mbak asisten rumah. “Maae, aku baik-baik saja.” Sekali lagi ia menenangkan ketika melihat wajah ibunya kembali cemas.

    Maae mencium pipi putranya dengan segenap kasih sayang seorang ibu. *“Fan dii na.”
(*Mimpi indah).

    *“Guut nai,” kata Wendy.
(*Selamat malam).

    “Hmp. Guut nai. Fan dii na,” sahut Benz.

    *

Setelah berganti baju, Benz mengamati benjol melalui cermin. Bulat kemerahan. Ibaratkan buah benar-benar matang.

    “Huh, aku nggak bisa masuk sekolah dengan wajah seperti ini.”

    Benz kembali mengompres benjol. Wajahnya sedikit meringis karena nyeri yang tiba-tiba.

    Ponselnya yang berada di atas tempat tidur berdering. Benz menerima sambungan panggilan video tersebut.

    “Hm?” Sahut Benz saat melihat wajah Fai muncul di layar.

🌈BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang