8. My Symptoms

7 2 0
                                    

Rain

'It hurts like hell,' hatiku menjerit.

Andai bisa memutar waktu, aku akan memilih untuk tidak tahu. Aya pernah punya hubungan istimewa dengan Adam yang aku tahu secara tidak sengaja. Kenyataan itu juga yang mendorongku mencari jawaban dari rasa ingin tahuku yang salah. Meski Paul tidak menjawab, tapi hal yang ingin aku dengar bisa terbaca dari raut wajahnya.

Aya adalah salah satu dari tiga orang yang Adam pernah sebutkan. Membayangkan tubuh Adam ada di atas Aya, terlalu pedih untuk dipahami. Aku berusaha berdamai dengan emosiku, mencoba menerima masa lalu itu karna Adam lebih penting. Jalan pikirku kacau, ditambah tingkah Ray yang membuatku membencinya, meski tidak sebesar aku menyayanginya. Dia yang tanpa belas kasihan telah memukuli Adam, membuat batasan dengan orang yang sedang aku rindukan saat ini.

Nafas panjang keluar dari mulutku berulang kali,

"Sam, kenapa bisa punya sahabat kayak Ray?"

"Karna dia Ray," Jawaban Sam begitu ambigu,

"Yang kaku banget orangnya," cetusku memperjelas,

"Gue lagi nggak suka sama dua orang yang menempatkan lo pada pilihan yang gue sendiri bakalan bingung jika harus memilih," aku sependapat,

"Pacar lo juga sama begonya, udah tahu Ray kayak gitu masih dipancing lagi emosinya."

"Menurutku apa yang dia lakuin itu keren."

"Oh my God, lo sama otak remaja elo, Ra." Aku tidak merasa mengatakan sesuatu yang salah,

"Pernah membayangkan diri lo sendiri ada di posisi Ray?"

Mendengar Sam, aku mulai paham sama jalan pikirnya.

"Oh., Sam please," aku semakin tidak bisa bergerak kemanapun. Semua dinding yang ingin aku lewati terlalu tinggi, I'm stuck. Aku takut jika salah mengambil keputusan, hanya akan menyakiti salah satu dari mereka.

"Aku butuh jawaban Sam, jalanku semakin gelap." Sam mengarahkan daguku untuk fokus pada matanya,

"Sabar Ra, nggak semua pertanyaan bisa segera lo jawab. Ada kalanya lo harus menanti jawabannya." Sam menghembuskan nafasnya kasar

"Terima Rain, karna semua nggak akan berjalan sesuai keinginan lo, bersabar waktu lo ngerasain gimana hidup ini kasih rasa sakit, berjalanlah terus karna hal yang buruk dan baik datang bergantian, things will get better for you. Kalau belum membaik berarti itu bukan akhir dari masalah lo," Tambahnya.
Dia berhasil menenangkan hatiku yang bercampur aduk.

"Gue yakin lo bisa. Sampai sekarang lo udah melewati bermacam hal yang nggak banyak orang mampu buat lakuin, jadi pertahankan gelar lo jadi orang kuat." Aku tersenyum mendengarnya,

"Thanks Sam, kamu memang paling bisa memahamiku." Perkataan dari Sam membuatku bersemangat,

"Ayo lari lagi," Aku beranjak bangun, menendang pelan kakinya

"Tenaga lo banyak juga." Keluh Sam, belum mau beranjak dari bangku taman.

"Siapa yang bilang kalau aku harus banyak olahraga, buat menjernihkan pikiran yang menurutku nggak ada hubungannya."

"Ada Ra, kalau tubuh lo bugar bakalan berpengaruh baik buat jiwa lo."

"Sam, yang bermasalah itu otak aku, bukan fisikku."

"No, you're not." Sam beranjak, bukan untuk meneruskan lari, cuma untuk memberiku kecupan di pipi.

Aku tersentak mendengar sesuatu,

"Kamu dengar suara itu Sam?"

"Apa Ra, gue nggak dengar apapun."

Aneh jika hanya aku yang mendengar suara barusan dengan sangat jelas.

HER SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang