70. Terus mencari

153 28 26
                                    

Ketika mobil penculik itu berhenti, Solar dan Ice ditarik kasar menuju gedung yang terlihat terbengkalai. Sesekali kaki dua pemuda itu tersandung oleh potongan kayu bekas pembangunan dulu.

Ketika mereka didorong ke dalam ruang gelap di gedung tua yang kumuh oleh penculik itu, Ice tak bisa menahan ketakutannya lagi. Tubuhnya bergetar, dan begitu mereka dilepaskan dengan kasar oleh para penculik, tanpa berpikir panjang, Ice langsung memeluk Solar dengan erat.

Lengan Ice melingkar kuat di tubuh Solar, seolah mencari perlindungan dan rasa aman yang selama ini jarang ia dapatkan. Kepalanya tertunduk, dan napasnya terasa berat dan putus-putus di antara ketakutannya.

Solar menggertakkan giginya dan mencoba mendorong Ice menjauh dengan gerakan kasar. "Lepasin, Ice. Gue gak suka!" seru Solar.

Namun, Ice bergeming. Rasa takutnya begitu besar hingga dia tak bisa melepaskan pelukan itu. Dia menggenggam Solar lebih erat, seakan-akan jika dia memeluk lebih erat, ketakutan itu akan lenyap.

"Tolong, sebentar aja, aku takut," gumam Ice, pemuda itu masih gemetar, tangannya mencengkram belakang jaket Solar.

Solar mendengkus pelan, akhirnya dia dan Ice duduk di lantai meskipun Ice tak melepaskan pelukannya. Solar berusaha membenarkan posisi duduknya agar nyaman.

Solar menghela napas berkali-kali, dia masih berusaha agar Ice melepaskan pelukan itu, tetapi hasilnya sia-sia. Dua pemuda itu akhirnya diam saja dalam posisi Solar yang dipeluk Ice.

"Lo nyusahin Ice," kata Solar pada akhirnya.

Ice tidak menjawab, hanya semakin mengeratkan pelukannya. Keheningan menyelimuti mereka, hanya terdengar suara napas keduanya yang memburu.

"Orangtua angkat gue udah mati juga nyusahin aja," gumam Solar.

Solar mengumpat dalam hati karena musuh orangtua angkatnya yang sangat dia benci itu malah menculiknya, yang lebih membuatnya frustasi, Ice malah ada di sini. Gedung tua yang mereka tempati ini penuh debu, bau apek menyengat hidung, dan Solar khawatir Ice akan kesulitan bernapas.

"Sialan," umpatnya. Kenapa harus di tempat seperti ini? Kenapa harus sekarang?

Ice pada akhirnya tertidur, Solar menghela napas lega lalu menjauhkan dirinya dari Ice setelah membaringkannya di lantai.

Ice terbangun dengan sensasi dingin yang menyelimuti tubuhnya. Suasana gelap di sekelilingnya membuatnya sulit untuk melihat. Namun, dia segera teringat akan kejadian yang menimpa mereka.

Dia berusaha membuka matanya lebih lebar, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan. Solar masih di sampingnya, meskipun posisi mereka sudah agak terpisah. Ice mengulurkan tangan, memastikan Solar ada di dekatnya.

"Solar," panggil Ice.

Solar mendengkus kasar sebelum menggeser tubuhnya mendekat ke Ice, pemuda itu membiarkan Ice meraih tangannya.

"Aku pikir kamu kemana," gumam Ice, pemuda itu menghela napas lega.

"Gue di sini, kagak usah panik, kagak mungkin gue bisa kemana-mana juga," balas Solar dengan ketus.

Ice berusaha menenangkan diri saat merasakan kehadiran Solar di sampingnya. Suasana mencekam di gedung tua itu masih membuatnya cemas, tetapi keberadaan Solar memberinya sedikit rasa aman.

Di sisi lainnya Blaze terlihat panik, dia menelpon Ice tapi panggilannya tak tersambung. Halilintar juga sudah menghubungi seluruh teman sekelas adik-adiknya itu.

"Bang Hali, Ice gak bisa dihubungin," kata Blaze masih menelpon nomor adik kembarnya.

"Coba telpon Solar, dia gak ada di kamar kos sebelah, mungkin dia ngajak Ice kemana-mana gitu," saran Halilintar pada adik pertamanya itu.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang