Chapter One

27 4 0
                                    


Karena dirasa matahari sudah semakin naik. Rayen berlari kecil untuk bersiap-siap pergi sekolah. Dibekali dengan alur cerita yang ia baca di novel, dirinya siap untuk mengungkapkan kebenaran dan tak tega melihat karakter menggemaskan seperti ini menjadi sosok yang menyebalkan.

Dengan seragam yang pas ditubuhnya, serta rambut blonde yang sengaja diacak. Rayen tersenyum bangga dengan wajahnya yang semakin terlihat muda, memang masa muda adalah masa yang paling diidamkan oleh semua orang.

"Rael, lo di mana? Gue pinjem tubuh lo, tolong secepatnya datengin gue. Kenapa gue bisa di sini dan di mana jiwa lo sekarang." Bibirnya komat-kamit layaknya membaca sebuah mantra.

Setelah dirasa seluruh bawaannya sudah lengkap, Raelo menuruni tangga dengan menenteng ransel birunya, bisa ia lihat dua orang yang sudah masuk kepala lima suda dipastikan adalah kedua orangtua Raelo. Secara naluri, segera Rayen tersenyum sopan.

"Makasih banget, gue memang cakep, tapi jangan diliat sampe melongo gitu dong. Jadi malu nih aww," batin Rayen yang merasa terlalu percaya diri.

"Ma, itu anak siapa? Kok senyum-senyum gitu? Takutnya anak tetangga nyasar," tanya sang kepala keluar kepada istrinya yang ikutan terbengong dengan tingkah anak bungsunya.

"Ngaco kamu, tapi kayaknya anak tetangga deh, Pa. Tapi kalau dari rambutnya mirip banget sama kamu, wah papa patut dicurigai." Menyipitkan matanya menatap sang suami yang sudah menggeleng panik.

Sedangkan Rayen yang mendengar mendadak mendatarkan ekspresinya, ia baru teringat kalau tubuh yang ditempatinya ini memiliki sifat pemurung dan sangat irit bicara. Mau bagaimana pun, Rayen tidak bisa berubah secara besar-besaran, apalagi menyangkut sifat seseorang.

Sementara sang anak sulung yang baru datang hanya menggeleng ketika mendengar ucapan kedua orangtuanya, segera dirinya mendekat ke arah adik bungsunya. Senyum pun Rayen dapatkan dari lelaki beralis camar itu.

"Adek kenapa lama banget turunnya? Biasanya kamu paling awal di meja makan, adek nggak enak badan?" Saat hendak mengecek suhu tubuh sang adik, tangannya dengan cepat ditepis.

"Jadi anak nggak sopan gini gue, maaf ya dek, gue harus profesional." batin Rayen, hatinya terus meronta-ronta, sifat Raelo sangat menyebalkan!

Meja makan yang cukup luas hanya berisikan empat orang, mereka tampak menikmati sarapan dengan sesekali mencuri pandang pada sang bungsu yang hanya mengaduk-aduk makanannya.

"Adek tumben nggak pakai baju biasanya? Kacamata adek ke mana?" tanya sang kepala keluarga yang belum terbiasa dengan penampilan baru sang anak.

"Gaya baru," jawabnya singkat.

"Sebenernya Abang juga pangling liat adek yang beda jauh, makin kayak bayi. Tapi, Abang gak lebay aja kayak Mama Papa," ujar Keenan, jika dirinya tak langsung menghindar, mungkin kepalanya menjadi sasaran empuk centong sayur sang Mama.

Lareina Rui, Mama pemilik kedua anak tampan serta manis itu terus menatap anak bungsunya dalam diam, hatinya semakin resah. Sudah beberapa tahun belakangan ini, anaknya terus menutup diri, kalau Raelo berpenampilan berbeda, pasti ada sesuatu yang terjadi lagi.

Sang kepala keluarga yang ngerti hanya bisa mengelus jemari istrinya yang berada di atas meja untuk menenangkan. "Gapapa, ada abang yang jagain adek. Betulkan, Bang?" Keenan segera mengangguk mantap untuk meyakinkan.

Sedangkan Raelo palsu itu malah sibuk mengamati sosok lelaki yang berada di sebelahnya, dari ciri yang disebutkan oleh penulis mengenai salah satu karakter pendamping. Keenan termaksud ke dalam kategori tersangka, walaupun sekarang Rayen belum bisa memastikannya.

"Masa bocah kayak dia jadi pelaku pembunuhan? Pipis juga belum tentu lurus, memang ada anak sekolah yang berani bunuh orang?" tanya Rayen dalam hati.

Volitient [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang