Bab 1

796 88 2
                                    

Perihal penyesalan, aku merasakannya dengan sungguh-sungguh. Orang mungkin tidak dapat melihatnya, mereka terlalu berlarut dalam perihal buruk sangka.

¤

Pada hari kematian seseorang, hanya ada isak tangis dan penyesalan. Begitu bukan? Memang seharusnya, suara helaan napas terdengar. Matanya memandang lurus gundukan tanah—terlihat masih basah, dengan harum kembang tujuh rupa yang dominan.

Ia berjongkok, kemudian menaburkan bunga dengan tangan bergemetar. Dibalik kacamata hitam ada manik memancarkan kesedihan.

"Anak durhaka, ibunya meninggal tidak menangis sama sekali, ya."

"Padahal mendiang Anatari sangat baik."

"Anaknya berbeda sekali."

Menutup telinga, mungkin pilihan yang tepat. Pada hari yang berat itu, Imalara Syakinah memutuskan untuk pulang bersama dengan keluarga lainnya.

"Selamat ulang tahun imala," bisik sang kakek, menghibur.

Imalara—nama panggilannya, ia tersenyum kecil sebagai tanda terima kasih. Pandangan orang melihatnya, sungguh tidak ada rasa sedih sama sekali. Berbeda sekali dengan sang ayah, yang diam menangis tanpa ekspresi, atau isakkan apapun. Imalara ingin menenangkan, ia sadar diri perihal itu.

Deru nafasnya memelan, perlahan mata lelah itu mulai terpejam. 17 tahun yang buruk, ia harus kehilangan seorang ibu pada tahun termanis dalam hidupnya.

Beberapa jam kemudian.

Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka, memandang langit-langit kamar bernuansa my melody, dengan perpaduan warna pink soft. Gadis itu memegangi kepala terasa pening, terlalu banyak menangis membuat ia tertidur lelap.

"Astaga, udah jam setengah delapan." Paniknya dengan suara gemetar, buru-buru ia menyambar kain hijab yang hanya disampirkan, tidak di gunakan dengan benar.

Menuruni undakan anak tangga, tahlilan hari ini ternyata telah selesai.

"Imala, kemari!" Kakek Theo melambaikan tangan seraya tersenyum hangat.

Berbeda dengan sang ayah, yang menatap datar tidak minat. Ada api kemarahan terpendam dalam sorot matanya, Imalara hanya bisa melangkah seraya meringis perlahan, ayahnya yang sabar hari ini terlihat amat menakutkan.

"Kamu baik-baik saja, nak?" Dielusnya kepala gadis itu oleh Theo, sesaat setelah duduk pada salah satu kursi.

Imalara mengangguk. "Tentu, grandpa."

"Mana mungkin Imala bersedih," celetuk Gandra—sang ayah dengan suara parau. "Kematian ibunya, karena keegoisan dia."

Mematung sesaat, Imalara menghela nafas sejenak. Rasa kecewa pada ibunya tidak disangka, akan berakhir seperti ini.

"Gandra, jaga bicaramu." Theo menatap memberikan peringatan.

Bangkit dari duduknya, Imalara berlari menuju lantai atas. Meringkuk diatas kasur, sedikit melamun sejenak. Hingga dering ponselnya terdengar, dengan cepat ia menyambar ponsel berada diatas bantal. Melihat, siapa yang telah menganggu ketenangannya.

Behind The BooksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang