Di dalam ruang rawat yang hening, Canny duduk di samping ranjang ayahnya yang lemah, menggenggam tangannya dengan penuh kasih. Sementara itu, Yunjin dan Sakuya telah pergi ke kafetaria rumah sakit untuk membeli sarapan, sekaligus membawakan makanan untuk Canny dan Eunchae. Keheningan itu hanya menyisakan Canny dan Eunchae di ruangan tersebut, membiarkan suasana menjadi tenang dan intim.
Melihat Canny yang diam dan tenggelam dalam pikirannya, Eunchae merasa dorongan untuk bertanya sesuatu yang selama ini ia pendam.
"Chae, kamu nyusul mereka aja ke kafetaria buat sarapan, aku gapapa ko sendiri di sini." ucap Canny dengan suara lirih, matanya masih fokus pada wajah ayahnya.
Eunchae tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Aku di sini aja Can, nemenin kamu. Canny kadang, kita memang butuh teman meski kita merasa kuat."
Canny hanya terdiam, tatapannya masih penuh kesedihan.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Eunchae akhirnya memberanikan diri bertanya, "Canny... aku pernah dengan cerita tentang keluargamu. Tapi... aku nggak pernah tahu, ibumu ke mana? Apa dia nggak pernah ke sini?"
Pertanyaan itu terasa seperti sebuah jarum yang menusuk hati Canny. Sorot matanya yang semula tenang berubah. Ia mencoba menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menghangat di balik matanya.
"Entahlah, Chae," jawab Canny pelan, suaranya sedikit bergetar. "Aku sudah lama nggak lihat dia... aku nggak tahu apa dia ingat masih punya anak di sini."
Eunchae terdiam, menangkap betapa sulitnya pertanyaan itu bagi Canny. Ia menarik napas dalam, mencoba memahami luka yang tersembunyi di balik sikap temannya.
"Aku minta maaf, Can. Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih."
Canny hanya mengangguk, tersenyum tipis. "Gapapa, Chae... kadang aku juga ingin cerita, tapi... setiap kali ingat tentang dia, rasanya seperti mimpi buruk yang nggak mau pergi."
Di kafe rumah sakit yang mulai ramai, Yunjin dan Sakuya duduk berhadapan di meja kecil, menikmati sarapan sambil menunggu pesanan untuk Canny dan Eunchae. Meskipun mereka mencoba menikmati makanan, pikiran mereka tetap tertuju pada Canny yang tengah menjaga ayahnya di ruang rawat.
"Kasihan banget ya Canny. Udah dari kecil hidup cuma sama ayahnya," ujar Yunjin, mengaduk kopinya pelan sambil menatap kosong ke arah luar jendela.
Sakuya mengangguk setuju, lalu menggigit roti yang ada di tangannya. "Iya... apalagi sekarang ayahnya sakit. Pasti berat banget buat dia."
Yunjin menghela napas, merasa ikut terbebani memikirkan kondisi Canny. "Dan dia jarang banget mau cerita, ya? Bahkan kita yang sahabatnya aja nggak pernah tahu banyak soal keluarganya."
Sakuya terdiam sejenak tampak berpikir. Ia tahu Canny bukan tipe orang yang mudah berbagi kesedihan, tapi justru karena itu, Sakuya dan Yunjin selalu merasa perlu ada untuk Canny.
"Ya, itu Canny sih..." balas Sakuya dengan nada lembut. "Keras kepala, tapi kita tahu dia cuma nggak mau ngerepotin orang lain."
Keduanya terdiam sejenak, tersenyum tipis dengan pemikiran yang sama--bahwa mereka akan terus berada di sisi Canny apa pun yang terjadi. Setelah menghabiskan sarapan mereka, Yunjin dan Sakuya berdiri, mengambil bungkusan makanan untuk Canny dan Eunchae.
"Ayo, kita balik sebelum Chae ngomel karena kita kelamaan," kata yunjin sambil tersenyum lebar.
Sakuya mengangguk sambil mengambil bungkus makanannya. "Kalau dia protes, bilang aja ini tanda cinta dari sahabat-sahabat terbaiknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Bayang Ibu
RandomCanny, seorang gadis kecil berusia lima tahun, harus menghadapi kenyataan pahit setelah di tinggal pergi oleh ibunya dan keenam kakak perempuannya. Hidupnya berputar di sekitar perawatan perawatan ayah yang sakit dan berjuang dengan keterbatasan eko...