part 22

44 6 2
                                    

Hallo, maaf ya kalo nanti kedepannya agak lama lagi untuk Up nya bukan keinginanku juga, hanya saja bisa dibilang keadaanku lagi kurang baik-baik aja, ada suatu hal yang bikin aku down banget sampe susah buat fokus apalagi nulis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hallo, maaf ya kalo nanti kedepannya agak lama lagi untuk Up nya bukan keinginanku juga, hanya saja bisa dibilang keadaanku lagi kurang baik-baik aja, ada suatu hal yang bikin aku down banget sampe susah buat fokus apalagi nulis. Tapi gakpapa aku akan tetap usaha buat lanjutin cerita-cerita ku yang belum selesai meskipun sedikit terlambat.

Mungkin hari ini terasa berat, tetapi ada hari-hari lain yang menanti untuk menjadi lebih baik. Terkadang, kita hanya perlu bertahan sedikit lebih lama sampai semuanya berubah. Tetap semangat dan staysafe ya teman-teman❤ makasih sudah mau menunggu cerita ini.

🌼Happy reading🌼
Maaf kalo ada yang typo🙏🏼

********

Di tengah sunyi malam, Danny akhirnya pulang ke rumah. Udara dingin menemaninya saat ia melewati lorong dan menaiki tangga menuju kamarnya, namun langkahnya perlahan berhenti di depan pintu kamar adik tirinya. Seperti kebiasaannya, ia memutuskan untuk melongok sebentar, sekadar memastikan Luna tidur dengan nyenyak. Hal ini menjadi ritual kecil yang kadang ia lakukan sebelum tidur atau sepulang dari luar. Entah bagaimana, ada rasa tenang yang selalu ia rasakan ketika melihat Luna terlelap, wajahnya damai dan polos, jauh dari segala kekhawatiran.

Danny menyadari satu kebiasaan ceroboh Luna yang kerap kali membuatnya tersenyum kecil-gadis itu selalu lupa mengunci pintu kamarnya. Baginya, ini menjadi alasan untuk masuk tanpa membuat suara, memastikan tidak ada yang mengganggu tidur adik tirinya. Pintu kamar Luna pun sedikit ia buka, dan di sana, ia melihat Luna tidur di balik selimutnya yang tampak hangat.

Ia berdiri sejenak di ambang pintu, memperhatikan wajah Luna yang damai dalam tidurnya. Di balik semua perdebatan, larangan, dan kekhawatiran yang seringkali ia tunjukkan, ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika ia melihatnya seperti ini. Seolah-olah, meskipun ia keras padanya di siang hari, pada saat-saat seperti ini, ia ingin melindunginya dari segala bahaya.

Saat Danny masih berdiri di ambang pintu kamar Luna, pandangannya tiba-tiba tertarik pada sesuatu yang tampak tidak biasa. Di wajah Luna yang terlelap, samar-samar terlihat bekas air mata di pipinya. Tanpa sadar, Danny mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tak beres. Dengan pelan, ia mendekatkan dirinya, mengamati wajah adik tirinya yang tampak lelah, seakan habis melewati malam yang berat.

Hatinya terasa perih melihat Luna seperti ini. Dalam tidurnya yang biasanya tenang, kali ini ada jejak kesedihan yang tertinggal, yang ia sendiri tak tahu penyebabnya. Malam itu, Danny baru saja pulang, tak tahu apa yang terjadi atau masalah apa yang mungkin sedang menghantui pikiran Luna hingga membuat gadis itu menangis diam-diam. Ada rasa penyesalan yang menusuk hati Danny-perasaan bahwa ia tak berada di sana ketika Luna mungkin membutuhkannya, dan tak bisa mencegah kesedihan yang ia lihat sekarang.

Tanpa ragu, Danny merunduk dan dengan lembut mengecup kening Luna, sebuah tindakan spontan yang seakan ingin menyampaikan permintaan maaf yang tak terucap. "Maaf, Luna." bisiknya pelan, meski ia tahu Luna takkan mendengar. "Gue harap lo selalu baik-baik saja."

Dear Luna (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang