Rainbow [Khaotung's POV]

159 13 3
                                    

Pandanganku lurus ke depan, tak menghiraukan lampu jalanan sama sekali. Jika mobil didepanku sudah berjalan, aku bisa menancapkan gas. Tanganku yang memegang kemudi terasa basah oleh keringat. Hawa musim panas bahkan terasa walau dalam mobilku yang ber-AC.

Rasanya aku ingin menangis. Tapi aku tahu ini bukan saatnya.

Ini hari minggu dan trotoar ramai sekali, berbeda dengan badan jalan yang kulalui. Apa kau sudah bangun tidur, First? Kuharap, iya. Aku sedang dalam perjalanan ke condomu kini.

Mobil di depanku kembali berjalan dan aku juga menekan tuas gasku perlahan. Ketika kembali konsentrasi, tak sengaja pandanganku bertumpu pada kilau berlian yang terpajang manis sebagai mata cincin di jari manisku.

Kutarik nafas dan hembuskan perlahan, mencoba meredam tangisku.

Ada banyak pertanyaan berseliweran dalam otakku. Bagaimana nasib hubungan kita berdua? Apa kita masih bisa baik-baik saja setelah ini? Apakah percuma langkah panjang nan nekat yang telah kita lalui?

Kucoba rangkai jawaban-jawaban tuk hibur hatiku, hingga aku sampai di basement gedung condomu.

Kau tinggal di lantai dua puluh satu, angka tanggal lahirku. Condomu ada di tower K, inisial namaku. Nomor kamarmu adalah 1310. Unit 13 di lantai 10 dan itu adalah angka tanggal lahirku. Aku tahu kau membayar mahal untuk memesan condomu itu, dan kau berkata tak keberatan membuatku merasa begitu berharga, bisa dicintai pria sesempurna dirimu.

Kutekan bel sekali dan tak ada sahutan seperti biasanya. Kutebak, kau masih diatas pulau putih kecil kita.

Bel kedua, masih tak ada sahutan.

Aku mulai kesal saat menekan bel ketiga.

Kutekan bel lagi, kau masih tak keluar. Kuremas kausku sendiri karena pikiran mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk itu makin mengejarku layaknya buronan.

Aku menekan bel lagi, kini secara brutal. Entah bagaimana aku berilusi bahwa berdiam diri seperti ini membuatku sesak dan terkurung.

Hingga akhirnya kau membuka pintu condomu. Rambut cokelatmu kusut, wajahmu lesu dan kau melapisi tubuh indahmu dengan kaus hitam tak berlengan.

Aku langsung memelukmu tak peduli bau badan yang menyengat karena kuyakin kau belum menyentuh setetes air sedikitpun kecuali bagian basah di sudut bibirmu. Air mataku tumpah, dan aku mendengarmu menggumam pelan.

"Khao, ada apa denganmu?"

Aku perlu menenangkan diri, jadi tak kugubris pertanyaanmu. Kulepas pelukanku beberapa saat kemudian dan kau langsung menggenggam tangan kananku. Kuhapus air mataku dengan tanganku yang bebas, tapi kemudian dengan cepat kau menahan pergelangan tanganku.

"Apa ini?" Alis tajammu berkerut. Walau tanpa menunjuk, aku tau maksudmu.

Kugigit bibirku karena rasa takut. Kupejamkan mataku agar air mata ini tak tumpah. Bibirku gemetaran saat aku ingin mengatakannya. "Fir.." kukeluarkan sisa keberanianku dan kutatap manikmu, "aku dijodohkan."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Rintik-rintik hujan mulai jatuh ke bumi. Aku mendongak, lalu setetes jatuh di dahiku. Senyum amat tipis kusunggingkan sekedar untuk mensyukuri nikmat Tuhan yang kudapatkan kini. Aku bersyukur bisa menikmati petrichor sebentar lagi, sesaat ketika gerimis atau hujan reda nantinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FirstKhaotung OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang