A Feast of Words

227 51 0
                                    

-

Lampu ruang makan berpendar lembut, membalut malam itu dalam suasana tenang dan nyaman. Di atas meja, hidangan sederhana yang masih mengepul menyebarkan aroma menggugah selera, memenuhi ruangan dengan wangi yang memikat. Erine berdiri di dapur, mengatur masakan terakhir dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Oline yang duduk santai di meja, menunggu dengan sabar.

"Coba tebak kali ini kita makan malam sama apa?" tanya Erine memecah keheningan, suaranya terdengar lembut.

Oline tersenyum, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi yang didudukinya. "Apa aja yang kamu buat juga pasti bakal aku makan, Rin," jawabnya ringan matanya menatap penuh rasa percaya.

Erine mengerling, senyumnya melengkung licik. "Oh? Don't act like that Manuel,"

"Nanti aku buatin dinner pake udang juga Binasa kamu," tukasnya dengan nada tenang namun penuh maksud, tahu menahu jika sahabatnya ini alergi dengan sejenis Custacea.

Oline mendadak tersentak, memasang ekspresi setengah waspada. "Seriously Vallencia? Kamu mau bunuh aku ya?" serunya. "Tega banget!"

Erine tertawa kecil ditengah perdebatan itu, saat ia mulai membawakan masakan terakhir ke arah meja. Omelette kornet yang disajikannya terlihat menggoda, dengan tekstur daging yang lembut dan tepinya yang sedikit kecokelatan. Aroma harum dari telur yang baru dimasak dan bumbu segar menyebar di udara, menggugah selera dan memenuhi ruangan.

Erine duduk di kursinya, mengambilkan seonggok nasi ke piring Oline, lalu ke piringnya sendiri. Ia mengiris sebagian omelette dan meletakkannya di piring miliknya. Ketika satu suapan sudah hampir masuk ke mulutnya—

"Anak alim, berdoa sebelum makan nggak sih?" potong Oline cepat secara tak langsung ingin menyindir orang didepannya.

Erine tersadar, tersenyum kikuk, dan segera merapatkan kedua tangan. Dengan penuh penghayatan, ia berdoa sesuai dengan keyakinannya, diikuti oleh Oline yang menutup mata dan menundukkan kepala, meski cara mereka berdoanya berbeda.

Selesai berdoa, Erine membuka mata dan menatap Oline dengan senyum yang tak lupa terlihat di raut wajahnya.

"Selamat makannn!!!" ujar Oline bersemangat karena sudah sedari tadi perutnya telah keroncongan. Sambil mengambil sendok dan menyendok nasi serta omelette ke dalam mulutnya. Suara sendok beradu dengan piring terdengar di tengah keheningan malam.



Besok aku ada janji mau nemenin Nala ke toko buku, jadi em... kamu di rumah sendirian nggak papa, kan? Cuma sebentar kok," Erine memecah keheningan dimeja makan.

Oline mengerutkan dahi, alisnya ikut naik sebelah. "Aku nggak boleh ikut?"

"Kalau kamu mau, boleh aja," jawab Erine, suaranya sedikit ragu.

"Ikuttt dong! Aku bosen nih di rumah mulu, pasti nggak ada orang yang bisa aku gangguin."

Erine memutar bola matanya malas, mengerti betul bahwa orang yang jadi bahan "ganggu" Oline adalah dirinya. Meskipun demikian, ia tidak bisa menahan senyum yang mengembang di wajahnya.

"Tuhan... kayanya aku nggak bisa hidup tenang nih dua hari ke depan."
































Erineeeeee, kamu ngapain aja sih di kamar mandi?" teriak Oline pada sahabatnya. Seharusnya Erine yang mengantarkan Nala pergi ke toko buku, tapi kini ia juga yang lama bersiap.

"Iyaa iyaaa, bentar lagi!" suara Erine terdengar dari dalam kamar mandi.

Oline menggigit bibir, merasa kesal sekaligus geli. "Cewek emang suka gitu, ya? Mandinya lama banget. Ngapain aja sih di dalam kamar mandi tuh? Mancing?"

Gumamnya pada diri sendiri, ia merenungkan perilaku perempuan secara umum, walaupun ia juga tahu bahwa ia termasuk dalam kategori itu.

Sambil menunggu Erine keluar dari ritualnya di kamar mandi, ia membuka media sosial dan mulai menggulir layar. Tak lama, ia mengangkat ponselnya, mengambil foto beberapa pap sederhana, dan mempostingnya Twitter.

(Abaikan waktu)

"Nungguin bocah mancing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nungguin bocah mancing." Mengeja kembali caption yang diisinya. Lalu ia pun tersenyum, merasa sedikit terhibur dengan kesibukan kecil itu di tengah penantiannya.

Tak berselang lama, akhirnya yang ditungguinya keluar dari kamar mandi menuju ruang tamu, tempat Oline sudah duduk menunggu dengan rasa sabar yang mulai menipis.

Dia mengenakan rok pendek berwarna hitam yang jatuh tepat di atas lutut, memberikan kesan segar namun tetap elegan. Di atasnya, ia memadukan jaket denim berpotongan crop, memperlihatkan sedikit lekuk pinggang yang memberikan sentuhan kasual namun anggun. Jaket denim itu memiliki aksen pudar di beberapa bagian, menambah kesan usang yang justru memberi karakter pada penampilannya. Sepasang sneakers putih melengkapi gaya itu, dengan kaus kaki pendek yang mengintip manis di atas tumit. Tampilannya tampak sederhana, tetapi tak bisa dipungkiri ada daya tarik yang tak biasa yang melekat pada dirinya.

Oline sedikit terpesona melihat penampilan Erine, namun segera ia sadar dan menepis perasaan itu.

"Dapet ikan paus kah mancingnya?" ucap Oline sarkastik, menyindir berapa lama waktu yang dihabiskan Erine di kamar mandi.

"Apaansih, cuma 25 menit juga," jawab Erine enteng menjawab sindiran dari sahabatnya itu, seakan itu adalah waktu yang sangat singkat baginya. Oline memutar bola mata, malas untuk menanggapinya.

"Ayo, entar tambah ngaret lagi,"  seru Erine. Diikuti Oline, mengikutinya mengeluarkan napas pasrah dengan Erine yang sudah berjalan meninggalkannya keluar.
























To be continue..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ENCHANTED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang