"Jadi, aku sendirian di rumah nih?" Aku memandang mereka. "Kalian di rumah sakit saja kan? Menemani Alfarezi?" tanyaku sambil memandang Alfarezi yang tertidur lelap di kasur pasien.
"Kamu bisa menginap di rumah temanmu. Yang jelas, bukan rumah Shuu." Asheer berkata sambil hati-hati menyentuh perban yang terbebat di tangannya. "Kami kasih dua pilihan, satu nginap rumah teman, dua, tetap di rumah. Pilih mana?"
"Di rumah saja." Aku menjawab, melirik Abyaaz yang sedang memeriksa pergelangan tanganku yang dibalut perban.
"Nah, Shuu," ucap Amaar, beralih ke Shuu, "awas saja kalau kamu macam-macam sama adikku," tangan Amaar terangkat, di arahkan ke leher, membuat gerakan memenggal. "Pindah alam kau."
Shuu hanya mengangkat bahu.
"Awas kalau Icha kenapa-napa. Naik motornya jangan laju-laju." Asheer mengingatkan untuk ke seribu kalinya.
Cih! Padahal, kalau dia memboncengku, dia sendiri laju-laju ngendarain motornya. Aku memonyongkan bibir.
"Oke, kalian sudah boleh pergi."
Shuu mendengus. "Ayo, Cha."
Aku menyandang ranselku. Mengikuti langkah Shuu. Sedikit berlari karena langkah Shuu yang panjang-panjang.
****
Buset! Laju banget ini anak ngendarain motor. Jelas-jelas aku lagi tidak bisa berpegangan dengan baik karena tanganku yang terluka. Aku meninju punggung Shuu dengan tanganku yang sehat.
"Jangan laju-laju banget, -Nyet."
"Bacot lo."
"Dih, salah kok teriak salah." Aku mendengus. "Jangan laju-laju, ingat itu."
NGEEEEENGGG!! Dengan sengaja, Shuu melajukan motornya.
Sialan. Emang minta digaplok nih anak satu. Aku mengetok helm yang dikenakan Shuu.
"Awas ya, kalau gue luka sedikit saja, kupelintir lidahmu."
"Coba saja kalau bis---" tiba-tiba Shuu mengerem.
Aku reflek mencengkram bahu Shuu erat. Aduh, ada apa lagi? Aku memandang sekitar, jalanan sudah sepi banget ini. Pasti seram banget kalau motornya kenapa-napa, misalnya mogok, terus kita terpaksa dorong sampai ke rumah. Gelap-gelap begini lagi. Aku menepuk bahu Shuu, bertanya lewat tatapan yang pasti dia lihat lewat spion motor.
"Ada orang." Shuu menunjuk ke depan.
Aku membuka kaca helm, dan memandang ke depan. Melihat seseorang berbaring meringkuk di tengah jalan. Astaga? Dia mau mati ya? Setidaknya, kalau mati jangan terlihat mengenaskan begitu kek. Yang keren dong. Aku memicingkan mata, terperangah melihat darah yang mengalir dari pelipis orang itu.
"Aku cek dulu orang itu," aku melompat turun. Langsung berlari menghampiri sosok yang menghalangi jalan kami ini.
Orang itu masih setengah sadar, kepalanya berdarah. Babak belur. Entah kenapa mukanya terasa familier bagiku. Aku memicingkan mata, siapa sih orang ini? Aku memandangnya dengan tatapan menyelidiki.
"Hei, Bocah, kalau... uhuk!! Tidak mau membantuku, tinggalkan saja aku."
Aku menyeringai, "Wah, sudah babak belur begini, Bapak masih bisa ngobrol dengan suara sengak begitu?"
"Astaga, aku masih muda."
Aku menatapnya. Mengingat-ngingat. Hingga dua detik berlalu, aku mendelik, astaga! Aku ingat siapa orang ini! Dia orang yang 'menabrakku' dengan motornya tadi. Aku berdiri, ya sudahlah, tinggalkan saja orang ini.
"Wah, akhirnya... kau, uhuk! Memilih pergi saja ya, mengabaikan tubuh sekarat ini," orang itu terkekeh. Aku tak habis pikir, kenapa dengan kepala berdarah-darah begitu, dia masih bisa berbicara semenyebalkan itu?
Aku memandangnya. "Jadi, Oom mau ikut atau enggak?"
"Yo, ndak tahu, kok tanya saya."
Emang ya, orang ini mau diselamatin atau enggak sih? Aku melototi orang itu. Lalu aku melirik ke arah Shuu yang menunggu di motor, dia tidak tertarik untuk ikut memeriksa orang aneh ini.
"Ya udah, Oom ikut saja. Tapi, duduk di stang ya." Aku menyeringai, aku melambaikan tangan ke arah Shuu, memberi isyarat padanya untuk mendekat. Cowok itu turun dari motor dengan malas-malasan, dan mendekatiku, melirik ke arah orang yang meringkuk di tengah jalan ini, lalu menatapku. Seolah orang itu tidak ada.
"Kenapa?"
"Oom aneh ini harus diobati. Jadi, dia ikut ke rumah. Aku akan obati lukanya dulu, lalu aku usir," ucapku datar. "Aku enggak tahu dia mau ditaruh di mana nih. Ada ide?"
"Masukin jok."
"HOI!" Orang aneh itu berseru serak. Terbatuk-batuk lagi, dengan sedikit darah yang muncrat keluar dari mulutnya. "Mana bisa?!"
Cih! Banyak protes. Lagian, mau ditaruh mana lagi?
"Oom masih bisa berdiri gak? Atau Oom mau saya panggilkan ambulans saja?" Aku memberi pilihan. "Cepat jawab. Dari hitungan ketiga. Satu..."
Orang menyebalkan itu beranjak duduk. "Aku ikut kalian saja." Dia menepuk-nepuk celananya, "Lagipula, cuma pusing tuh."
"Cuma pusing apanya coba?" Shuu mendengus, "sampai baring di tengah jalan begini, dia bilang 'cuma pusing'?"
Aku menepuk dahi. "Oom-nya emang rada gila kayaknya, Shuu. Yaudah, ini orang kita taruh mana nih? Besar banget.
"Hei! Kalian bicara begitu seolah aku ini cuma barang tak berguna ya!?"
"Kau bisa duduk di belakangku. Jangan salahkan kami kalau kau makin pusing karena luka di kepalamu itu. Nah, Icha duduk depan." Shuu mengangkat bahu, "Berdiri, Orang Asing. Cepat. Kami sudah mau pulang. Sudah malam ini."
Aku tadinya mau protes, masa aku duduk di depan sih? Macam anak kecil saja. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku melirik Shuu. Yang penting sampai rumah deh. Aku sudah lelah banget. Dengan gerakan kaku, aku duduk di depan Shuu. Sialan, kenapa aku jadi merasa seperti dipangku sih? Risih loh.
Sedangkan orang aneh tadi baru saja duduk di belakang.
Lima detik.
"Hoi, kenapa enggak jalan?" Aku berseru.
Shuu gelagapan. "Oh iya!!"
Kenapa pula anak itu? Kesurupan kah? Jarang banget aku lihat dia gak fokus gitu.
****
Sampai sini dulu yaa gess!! Sudah 700+ nih! Jangan lupa di-vote ya!
Salam hangat dari Ellaria (author)!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Brothers
Novela JuvenilEmpat kakak laki-laki tampan, menyebalkan bin gregetan ini selalu membuat adik perempuannya kerepotan karena ke-posesif-an mereka. Sifatnya yang berbeda-beda, sulit ditebak. Pertengkaran selalu menjadi rutinitas wajib mereka. Pokoknya cerita ini bi...