YOGYAKARTA, Malam hari dikala rembulan bersinar terang.
Arum masih berkutat dengan peralatan lukisnya di teras rumah. Sudah hampir dua jam dia memandangi kanvas kosong yang ada di depannya. Rasanya, semakin malam, semakin sulit pula ia mencari inspirasi.
"Lho, belum tidur?" Rita bertanya. Perempuan paruh baya itu berdiri di dekat pintu sambil membawa cangkir berisi kopi yang baru saja ia buat.
"Belum,"
"Besok kau tidak bekerja?"
"Kerja," jawab Arum. "Aku berangkat jam sepuluh, Bi. Jadi, aku rasa tidak perlulah tidur terlalu cepat."
Rita duduk di sebuah kursi yang letaknya ada di dekat jendela, lebih tepatnya di belakang Arum. Dia memperhatikan keponakannya yang masih sibuk memandangi kanvas kosong. Ingatan Rita kembali ke masa lalu, saat ia masih remaja. Masa lalu yang indah, namun ia tidak mau mengulanginya. Bukan apa-apa, Rita hanya tidak mau mengulangi masa-masa susahnya bersama dengan kedua kakaknya: Lasmi dan Laras.
Meskipun, ia tidak bisa berbohong, bahwa dirinya merindukan kedua orang tuanya. Hanya itu saja yang ia rindukan.
Rita masih membutuhkan kedua orang tuanya. Hari ini, dan selamanya.
"Apakah kau tahu Rum," Rita memulai percakapan. "Ketika melihatmu... Jujur, bibi seperti melihat nenekmu semasa muda." Ada helaan nafas panjang diujung kalimat Rita.
"Kau mengingatkan bibi pada mendiang nenekmu yang sudah lama tiada. Bahkan, sebelum kau dan kakak-kakakmu lahir ke dunia." Rita melanjutkan ceritanya.
Dulu sekali, Rita ingat betul, saat ia masih berumur lima belas tahun, ia harus merelakan masa-masa mudanya yang seharusnya digunakan untuk mengenyam pendidikan, harus terpaksa terhenti karena permasalahan ekonomi. Rita yang kala itu masih berusia muda, harus merelakan dirinya menjadi seorang petani- membantu ayahnya.
Saat usia Rita enam belas tahun, ibunya, Arimbi, jatuh sakit dan meninggal pada minggu depannya. Sudah tentu terpukul hati Rita, apalagi, Rita adalah anak bungsu yang selalu dekat dengan Arimbi. Kepergian Arimbi membuat Rita menjadi gadis putus asa. Hampir tiga bulan, Rita tidak keluar kamar, tidak keluar rumah dan tidak mau bermain bersama kawan-kawannya meskipun kawan-kawan Rita sudah datang ke rumah.
Kala itu, Rita hanya ingin Arimbi kembali. Ia tidak butuh kawan-kawannya, ucapan bela sungkawa, atau uang santunan. Arimbi. Dia hanya ingin Arimbi hidup kembali. Menemani dirinya, Lasmi, Laras dan Radjiman alias ayahnya.
"Saat kau lahir, ibu dan bapakmu senang bukan main Rum, sebab, anak perempuan yang didambakan akhirnya hadir ke dunia. Aku juga ikut bahagia. Aku bilang pada ibumu, bahwa wajahmu agak mirip dengan mendiang nenekmu. Sedikit, ya mungkin hanya tiga puluh persen saja, sisanya menurun pada ibumu."
"Aku... Aku tidak pernah tahu masa muda nenek. Saat aku lahir, nenek sudah lama tiada." Mendengar ucapan Arum, Rita langsung masuk ke dalam rumah untuk mengambil sesuatu, dan tidak menunggu lama, ia kembali sambil membawa dua foto berwarna pudar. Tampak di foto itu, ada seorang gadis yang memakai baju kebaya putih dengan kain jarik yang begitu rapih. Itu adalah Arimbi, ketika umurnya masih enam belas tahun.
"Ini, ini adalah nenekmu di masa mudanya." Rita memberikan satu foto Arimbi kepada Arum.
Tangan Arum mengambil foto itu. Diperhatikannya dengan seksama bentuk wajah neneknya itu. Dia berusaha mencari letak kemiripan antara dirinya dengan Arimbi.
"Kau seperti nenekmu Rum, hanya berbeda zaman saja. Jika rambut nenekmu bergelombang, rambutmu justru lurus dan selalu dibiarkan tergerai. Jika nenekmu lebih suka menggunakan kebaya, maka kau lebih suka menggunakan pakaian yang lebih nyaman dan tidak repot sama sekali. Tapi bagaimanapun itu, kau memang mirip dengan nenekmu."
"Aku... Aku merasa tidak menjumpai kemiripan dengan mendiang nenek. Entah, mungkin lebih tepatnya belum menjumpainya saja."
***
Jam sepuluh malam, Arum sudah masuk ke dalam kamarnya, dia sama sekali belum melukis apapun. Kanvas nya masih kotor, dan kuasnya belum dipakai sama sekali. Memang benar, susah sekali mencari sebuah ide ketika keadaan pikiranmu sedang tidak mendukung.
Ngomong-ngomong, foto Arimbi masih ada pada Arum. Rita yang meminta Arum untuk menyimpannya.
Melihat potret masa muda Arimbi, Arum jadi ingat bahwa dia memiliki beberapa kebaya. Rencananya, besok, Arum akan mampir ke studio foto untuk melakukan pemotretan. Siapa tahu, yang dikatakan Rita itu benar, bahwa Arum memiliki kemiripan dengan Arimbi.
Arum membuka lemarinya. Ada tiga kebaya yang menurut Arum begitu cocok di badannya. Salah satu yang paling ia sukai, adalah kebaya berwarna hitam. Saat Arum mencoba kebaya tersebut, ia seperti melihat bayangan Lasmi sewaktu muda, bukan Arimbi.
"Apakah, ini aku?"
Selanjutnya, Arum mengambil sebuah kotak perhiasan yang di dalamnya terdapat kalung berliontin biru milik Lasmi.
Gadis itu melihat pantulan dirinya yang sangat-sangat berbeda di kaca. Ia bahkan hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
"Apakah mungkin, di masa depan nanti, wajahku akan persis mirip dengan ibu?"
______________________________________
You can follow my ig :
@rbiellaa.e
@rahmabiella.world
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMANTIKA MAHAJANA [ON GOING]
RomanceBagi Mahajana, Arum adalah salah satu mimpi yang harus ia wujudkan. Arum, dan Arum. Tetap dan selalu Arum. "Arum, panjang umur selalu. Sebab salah satu mimpiku ada pada dirimu." ©Rahmaayusalsabilla Publish, 08 Januari 2024.