**********
Di ruangan yang sunyi itu, Luna menatap Rey dengan penuh kecemasan, mengantisipasi apa yang akan ia katakan. Rey menatap putrinya sejenak sebelum menghela napas dalam-dalam, berusaha mengatasi perasaan yang bergulat di dalam dirinya. Suara Rey terdengar sedikit serak ketika akhirnya ia berbicara, mengungkapkan keputusan yang telah lama ia pikirkan.
"Aku... tidak akan mengirimmu ke Paris, Luna." katanya pelan namun tegas. "Aku juga tidak akan menyerahkan hak asuhmu pada siapa pun. Kamu akan tetap tinggal di sini."
Luna terkejut mendengar keputusan itu, tak menyangka ayahnya yang biasanya dingin akan memutuskan sesuatu yang menandakan keinginannya untuk tetap dekat dengannya. Di sisi lain, Rey masih bergulat dengan perasaannya yang rumit. Setiap kali ia memperlakukan Luna dengan keras, sosok Lussi seolah muncul dalam mimpinya, marah dan kecewa. Mimpi-mimpi itu semakin menghantuinya, mengingatkan Rey bahwa ia tak seharusnya membiarkan bayangan masa lalu mengendalikan hubungannya dengan putrinya.
Namun, gengsi dan rasa bersalah yang mendalam membuatnya sulit berbicara terbuka dengan Luna. Rey menatap ke arah lain, tak mampu sepenuhnya menatap putrinya dengan rasa penyesalan yang bersemayam di hatinya. Dalam diam, ia ingin meminta maaf, tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.
Luna hanya bisa duduk terpaku, tak tahu harus merespons bagaimana. Ia merasa sedikit lega, namun tetap ada jarak di antara mereka yang sulit dijembatani. Meski demikian, keputusan Rey adalah langkah kecil yang berarti—memberinya harapan bahwa suatu hari, hubungan mereka mungkin bisa perlahan membaik.
Luna menatap ayahnya dengan perasaan yang campur aduk, namun lebih lega dari sebelumnya. Meskipun Rey tidak mengungkapkan permintaan maaf, keputusannya membuat Luna merasa bahwa mungkin ada secercah harapan dalam hubungan mereka yang renggang.
Setelah mengumpulkan keberaniannya, Luna mencoba berbicara, suaranya pelan namun terdengar jelas dalam keheningan ruangan. "Terima kasih, pah… karena tidak jadi mengirimku pergi."
Rey hanya mengangguk, tetap memandang ke arah lain, tak mampu menatap mata Luna. Di balik gengsinya, Rey merasakan getaran aneh yang muncul—sebuah kehangatan yang sebenarnya ia rindukan tetapi terlalu keras kepala untuk diakui. Ada perasaan campur aduk antara penyesalan, kerinduan, dan harapan yang menggantung di hatinya.
Melihat tak ada respons lebih dari ayahnya, Luna perlahan bangkit dari kursi, bersiap untuk pergi. Saat ia hendak melangkah keluar, tiba-tiba Rey bersuara, seolah kata-kata itu keluar tanpa ia rencanakan.
"Luna…" Rey berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar. "Kau… kau sangat mirip ibumu. Setiap kali Aku melihatmu, rasanya seperti melihat Lussi."
Luna berhenti di ambang pintu, terpaku mendengar pengakuan yang tak terduga itu. Dengan hati-hati, ia menoleh, menatap ayahnya yang kini menunduk dalam kesedihan. Kata-kata Rey membuat hatinya berdesir, karena ia tahu itulah alasan di balik sikap dingin ayahnya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Luna (END)
Teen Fiction⚠️jangan plagiat‼️ide mahall sengkuu, yuk guys sebelum baca janlup follow dulu⚠️ "Orang menangis bukan karena mereka lemah. Tapi, mereka menangis karena telah berusaha kuat dalam waktu yang lama" -Luna Ruzelia "Tujuanku adalah selalu membuatmu, ter...