Bab 1. Diagnosis

13 9 0
                                    

Ruang tunggu rumah sakit terasa seperti penjara bagi Aria Santoso. Udara dingin dan kaku, diisi dengan aroma antiseptik yang mengganggu indera penciumannya. Di sekelilingnya, pasien lain terlihat lebih tenang, terbenam dalam buku atau momen santai. Namun, bagi Aria, waktu berjalan lambat, dan setiap detak jam dinding seakan menjadi pengingat akan ketidakpastian yang menggerogoti jiwanya.

Aria mengatur napas, berusaha menenangkan pikiran yang berputar-putar. Dia menggenggam tas kecilnya, berisi dokumen dan catatan medis yang semakin menambah kegelisahannya. Dia sudah menjalani serangkaian tes dan prosedur, tetapi semua itu terasa seperti ritual yang sia-sia. Ketika dokter Adrian akhirnya memanggil namanya, jantungnya berdegup kencang.

Ketika pintu ruang konsultasi tertutup di belakangnya, Aria dapat merasakan ketegangan di udara. Dokter Adrian, dengan wajah yang serius, memulai pembicaraan dengan lembut. "Aria, kita sudah melakukan semua yang kita bisa. Kanker ini sudah menyebar ke tahap akhir. Saya minta Anda menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Anda memiliki waktu sekitar tiga hari."

Kata-kata itu menghantam Aria seperti tamparan keras. Waktu tiga hari—itu terlalu sedikit. Dia merasa dunia sekelilingnya runtuh. Semua rencana, semua impian, seolah sirna dalam sekejap. Dia hanya mampu menatap kosong ke arah dokter, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Apakah ada... harapan lain?" tanyanya, suaranya bergetar. Dia tahu jawabannya, tetapi harapan selalu sulit untuk ditinggalkan.

Dokter Adrian menggelengkan kepala, matanya dipenuhi dengan empati dan kesedihan. "Saya tahu ini sangat sulit, Aria. Namun, kami akan memastikan Anda mendapatkan perawatan paliatif terbaik."

Kepalanya berputar saat dia meninggalkan ruangan. Setiap langkah menuju pintu keluar terasa berat, dan setiap detik seakan mengingatkannya bahwa waktu yang dimilikinya semakin sedikit. Di luar rumah sakit, udara sore terasa segar, tetapi hatinya dipenuhi dengan keputusasaan.

Ketika dia sampai di mobilnya, Aria mengunci pintu dan membaringkan kepalanya di setir. Air mata mengalir tanpa henti. Dia teringat momen-momen indah dalam hidupnya—lulusan universitas, promosi pertama, dan semua pencapaian yang kini terasa hampa. Kini, di hadapannya terbentang jalan menuju akhir yang tidak terhindarkan.

Tiga Hari Untuk HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang