¯ Klandestin ¯
"Rora," Panggil Asa lirih.
Rora membalas dengan mengeratkan genggaman tangan mereka. Tak ingin mengusik ketenangan.
Deburan ombak menggelitik telinga mereka, menyanyikan instrumen merdu yang mampu menenangkan hati. Dengan sang surya yang perlahan tenggelam memantulkan jingga yang memanjakan mata.
Asa berhenti, merasa ragu untuk melanjutkan. Rora masih sabar menunggu, ia tau ini merupakan keputusan terbesar Asa. Hingga sepuluh menit berlalu, hanya ada desahan napas dan deburan ombak di sekitar mereka.
"Menurut kamu," Asa menjeda kalimatnya, mempertimbangkan kalimat seperti apa yang pantas ia keluarkan. "Apakah seseorang yang membuat kesalahan besar dan merugikan banyak orang di masa lalu, masih layak menerima pengampunan?"
Asa bertanya dengan pandangan lurus ke depan. Tak mampu menatap iris yang berhasil menyelinap di otaknya.
Rora terdiam. Pertanyaan itu membuat luka yang ia coba sembunyikan kembali menggerogoti hatinya. Rasanya begitu sesak dan perih. Ia teringat seseorang yang menghancurkan kehidupannya dalam sekejap.
Kepalanya bergerak ragu ke arah kiri sejenak, namun kemudian mengangguk.
Namun Asa melihat bagian ia menggeleng dengan samar, kemudian memejamkan mata menikmati rasa bersalah yang mencabik tubuhnya perlahan. Oksigen di sekitarnya seakan menipis. Tak satupun orang akan berpikir ia pantas dimaafkan.
Ia tak berhak mendapatkan pengampunan.
Melihat Asa yang menutup matanya, membuat Rora menangkup wajah yang lebih tua kemudian memberikan usapan lembut. Manik kelam itu berhasil menatapnya lagi. Tatapan itu begitu menyesakkan untuknya. Melihat orang yang ia sukai terlihat begitu rapuh, membuatnya merasakan rasa sesak yang tak bisa dijelaskan.
"Kesalahan apapun yang kakak buat di masa lalu, tentu layak untuk menerima pengampunan. Jangan pernah menyalahkan diri buat hal yang ga bisa kita kendalikan."
Asa menggeleng pelan,
Bisa.
Itu bisa dikendalikan.
Seandainya saja ia bisa mengendalikan diri untuk tidak meminta menyetir saat itu, semua tidak akan seperti ini.
Seandainya saja ia bisa mengendalikan diri agar tidak egois, beban ini tak akan terasa begitu berat.
Seandainya saja ia bisa mengendalikan diri untuk mendengarkan ibunya, ia tak perlu takut akan tatapan mata orang-orang yang menghakiminya.
Melihat pujaan hatinya yang kembali menangis dalam diam, tangan Rora bergerak merengkuh tubuh rapuh itu, memberanikan diri secara sadar untuk membawa ke dekapan hangatnya.
Asa terdiam di pelukan itu. Kepalanya masih menunduk, napasnya memburu. Kepalanya kembali dibayangi hal-hal yang menurutnya realistis.
"Ga sesederhana itu, Ra." Asa menggeleng, "Mereka pasti ga mau maafin kesalahanku."
Ia begitu yakin, ia pasti tak akan termaafkan oleh gadis belia yang sudah ia rampas paksa kebahagiaannya. Begitu dalam luka yang ia tancapkan, walaupun berhasil dicabut pasti akan meninggalkan bekas menganga. Asa saja begitu tersiksa memikirkannya.
"R-rasanya sakit, sakit banget, Ra. K-kamu pasti bakalan menjauh juga kalau tau apa yang aku lakukan di masa lalu."
Rora meregangkan pelukannya, mengusap kelopak mata Asa yang basah, ia menatap iris yang terasa begitu familiar dan selalu membuat perutnya tergelitik.
"Kakak harus percaya, orang yang kakak maksud pasti bakal maafin kakak." Rora berucap yakin. "Dan aku akan selalu disini bersama kakak."
Akankah?
;
Rora merebahkan tubuhnya setelah mandi air hangat. Ia tiba-tiba teringat akan tatapan yang Asa berikan tadi. Lalu teringat seseorang yang memeluk dirinya erat hingga membuat tubuhnya menghangat.
Rora menggeleng, "Cuma kebetulan, Rora." Pikirnya.
Notifikasi ponselnya membuat lamunannya buyar, ternyata uang bulanan beasiswanya sudah baru saja masuk ke rekeningnya.
Enami's Group
Entahlah ia harus menyebut mereka apa. Penyelamat atau penghancur?
Mereka memang bertanggung jawab dengan kehidupannya pasca ditinggalkan kedua orang tuanya, namun dengan syarat agar ia tak mengungkit kejadian beberapa tahun lalu.
Rora yang tidak memiliki apa-apa lagi hanya bisa pasrah dengan yang mereka tawarkan. Dengan begitu setidaknya ia masih bisa menjalani hidupnya hingga mendapatkan masa depan yang layak sehingga kedua orang tuanya bisa tersenyum bangga kepadanya di atas sana.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia sangat menginginkan keadilan. Ia ingin pelakunya bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat. Jujur saja, ia tak rela mendapat kenyataan bahwa penyebab ia kehilangan kedua orang tuanya pergi dapat berkeliaran dan menjalani hidupnya dengan damai tanpa rasa bersalah.
Rora tak menginginkan pelakunya menderita. Tapi setidaknya, ia ingin sekali bertemu dengan pelaku seraya bertanya, "Bagaimana perasaanmu setelah menghilangkan dua nyawa berharga dan merengut paksa dunia seorang anak berumur dua belas tahun?"
Rora hanya menanyakan hal tersebut. Ia penasaran akan jawaban apa yang akan ia dapatkan.
Apakah rasa bersalah?
Apakah ada penyesalan di dalamnya?
Atau omong kosong tanpa rasa bersalah?
Rora tak tau.
Satu hal yang pasti, untuk mendapatkan jawabannya ia harus bertemu pelakunya dan mengetahui motifnya. Dengan itu ia dapat menjalani hidup tanpa dibayangi pertanyaan yang begitu mengganggunya.
Rora harap, keadilan akan datang kepada mereka suatu saat nanti. Tidak peduli seberapa lama itu akan datang, ia akan tetap menanti dengan lapang.
¯ Klandestin ¯
05 November 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin | Asa X Rora
FanfictionKlandestin. (adj) Veiled in secrecy; Hidden beneath the surface. ⚠ This story contains gxg, if you're uncomfortable, please stay away. Start: 27 September 2024 End: - ©Aiileeee, 2024