5

106 5 1
                                    

Setelah selesai menyuapi Cia, Elza di raganya Maherza kini memberikan obat penurun panas untuk Cia, entah karena takut atau bagaimana Cia menurut saja sedari tadi dengan apa saja yang di suruh oleh Maherza tanpa membantah. Baru saja selesai Cia meminum obatnya, bahkan tangan Maherza masih mengambang di dekat mulut Cia. Tiba-tiba ada tangan seseorang yang memukul tangan Maherza yang masih memegang sendok sirup dan obat sirup penurun panas.

Alhasil  membuat obat tersebut terlempar ke lantai dan menumpahkan isi obat. Maherza menelan ludah karena kejadian tiba-tiba itu. Tanganya masih mengambang di udara, tubuh Maherza merinding dibuatnya. Tatapan Maherza mengarah ke lantai yang lebih tepatnya ke arah botol obat yang tertumpah di lantai, ada perasaan nyeri di hatinya melihat hal itu.

"Duit 60 ribu gue" ratap Maherza sedih.

Matanya kini melirik ke arah Helen yang baru saja terbangun dari pingsan. Wajah Helen pucat pasi, namun tatapan matanya tetap tajam menusuk.

"Maherza," sentak Helen, suaranya terdengar masih lemah. "Apa yang kamu berikan ke Cia itu?" Dengan nada cukup keras namun terselip nada cemas di dalamnya terkait Cia.

Maherza berusaha keras untuk tetap tenang. "Itu hanyar obat sirup untuk demam. Aku hanya ingin Cia cepat sembuh. Dia tengah demam"

"Jangan bohong!" seru Helen. "Aku tahu apa yang kamu rencanakan!"

Maherza terkejut. "Apa maksudmu?"

Helen tertawa sinis. "Jangan pura-pura tidak tahu! Aku tahu kamu hanya ingin lebih menyakiti kami!" Memeluk erat Cia, seakan takut anaknya kenapa-napa akibat ulah Maherza.

Maherza tambah panik. Ia harus segera mencari cara untuk menenangkan Helen agar umurnya bertambah sehari sehingga ia keluar dari situasi ini. "Helen, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud."

"Sudahlah, jangan berakting!" seru Helen. "Jika Cia kenapa-napa, aku akan membuatmu membayar semua perbuatanmu!"

Maherza merasakan jantungnya berdebar kian kencang. Ia tahu bahwa ia akan semakin terpojok jika tidak bisa menenangkan Helen saat ini juga. Ia harus segera mencari cara, Maherza mencoba untuk memeras otaknya agar menemukan solusi. Dibawah tatapan tajam yang menusuk sampai ke jiwa membuat bulir keringat sebesar biji jagung mengalir di pelipis Maherza.

Maherza memberanikan diri untuk menatap Helen, tetunya di balas dengan tatapan tajam dan waspada dari Helen, sekali lagi dengan susah payah Maherza menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.

"Itu memang obat demam, aku membelinya di apotek" masih menatap Helen untuk melihat reaksinya. "Obat itu dari resep dokter. Kamu bisa tanya sendiri pada Cia kalau tidak percaya, dia tadi di periksa langsung oleh dokter" jelas Maherza dengan satu tarikan napas, degup jantung Maherza menjadi melodi yang mengiringi kecemasan ia terkait reaksi Helen. Gemetar di jari-jari Maherza menjadi gambaran jelas terkait ketakutan Maherza akan nyawanya, ditambah suhu dingin mulai menjalar dari ujung kuku kakinya sampai ke ubun-ubun membuat ia terlihat pucat.

"Kamu sakit, sayang?" Cemas Helen menyentuh dahi Cia, hanya anggukan yang menjadi jawaban dari Cia. Sepontan Helen mengeratkan kembali pelukanya lalu mengelus punggung Cia dengan sayang.

"A-anu.. kamu juga harus makan Helen, agar kamu cepat sembuh juga" ucap Maherza menyela kegiatan mereka dengan nada gugup dan takut.

Mendengar itu Helen menampakan raut wajah seakan tidak percaya dengan ucapan yang telah di sampaikan oleh Maherza, ia menatap aneh Maherza namun seakan tidak peduli kini perhatian Helen kembali tertuju ke Cia.

"Mama harus makan! Biar cepat sembuh" ucap Cia mengingatkan karena Helen tidak merespon ucapan dari Maherza selaku Ayahnya.

"Iya sayang" kini senyum Helen mulai terbit saat mendapat perhatian dari putrinya. Dengan patuh ia mengambil makanan yang terletak di atas meja disamping.

Merasa atmosfer yang mulai tidak membuat Maherza tercekik, membuat ia dapat bernapas dengan lega. Ia kembali menatap ke arah botol obat di lantai dan menatap Helen secara bergantian.

Ada perasaan sakit dan takut secara bersamaan membuat Maherza merasa tidak enak, dengan langkah pelan ia mendekati botol obat yang tergeletak di lantai.

"Obatmu ada di laci, minumlah setelah selesai makan" ucap Maherza sambil membereskan noda sirup obat yang berceceran tanpa menatap Helen. "Aku akan membeli obat Cia lagi" berlalu pergi dengan konsisten menatap ke depan tanpa menoleh ke Helen.

Sesampai di luar rumah sakit Maherza mencoba menghurup udara segar untuk mengisi paru-parunya yang sedari tadi seakan sulit untuk mendapat oksigen. Tangan Maherza bertumpu pada salah satu tiang listrik guna mestabilkan tubuhnya karena kakinya terasa lemas.

"Gila! Tangan gue di sentuh malaikat mau tadi cuy" ngeri melihat tangan yang tadi di sentuh Helen. Ia mengusapkan ke baju seakan ingin menghilangkan bekas-bekas malaikat maut yang tertinggal. Seakan takut dengan adanya bekas itu makan semakin cepat juga mengikis waktu kematianya.

Tergesa-gesa Maherza berlari ke arah apotek, setelah dapat menguasai dirinya kembali dan berusaha segera kembali ke kamar inap Helen, karena takut jika terlalu lama menyerahkan obat Cia akan semakin mempercepat ajal menjebut untuk ke dua kalinya.

Saat sampai di kamar inap Helen sudah selesai makan dan terlihat Cia sudah terlelap tidur di samping Helen.

"Ini obat Cia, kamu sudah minum obat kan?"

"Hm"

"Kalau begitu tidurlah"

Tanpa menunggu jawaban Helen, Maherza berjalan ke arah sofa untuk mengistirahatkan tubuhnya yang memikut beban berat untuk bertahan hidup. Ekor mata Maherza menangkap Helen yang tengah menatapnya dengan pandangan aneh. Namun, dengan bermodal keberanian  yang seuprit ia mencoba acuh dan segera ingin beristirahat.

Maherza merogoh handphone di sakunya, ia mulai mencatat alur film yang sudah ia tonton, dapat kesimpulan berdasarkan ingatannya. Maka setelah kejadian ini, dalam beberapa sken selanjutnya akan di mulai penyiksaan terhadap Maherza. Jadi ini masihlah di pertengahan film, dengan hati-hati, Maherza mulai menyusun rencana pelariannya kelak untuk mengamankan nyawanya.

Tengah fokus, menganalisis dan mencatat adegan penting terkait hidupnya membuat ia tenggelam akan hal itu.

"Kenapa?" Ucap Helen memecah keheningan yang melingkupi ruangan.

Maherza tersentak. Ia buru-buru menyembunyikan ponselnya di belakang badan. Detak jantung Maherza lembali berpacu, bingung harus menjawab apa.

"Kenapa membawa aku ke rumah sakit?"

"What? Ni orang pea apa gimana? Perasaan yang kepala berdarah tu gue deh, ko yang gesrek dia ya?" Batin Maherza bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Helen. Jelas secara logika manusia mana yang akan membiarkan begitu saja saat melihat seorang wanita hamil yang tengah pendarahan.

Melihat ekspresi bingung Maherza membuat Helen mengangkat sebelah Alisnya, ditambah terlihat sorot ketakutan saat melihatnya kian membuat heran.

Merasa tidak mendapat jawaban, Helen berbalik memunggungi Maherza. "Cukup bersikap manipulatif, aku tidak mau Felicia semakin kecewa terhadap Ayahnya"

"Hah, maksudnya apa cuk?" Bingung Maherza dalam diam, ia menatap lurus ke punggung Helen yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit.

"Auah, yang penting rencana pelarian aja dulu, gue harus ngamanin nyawa secepatnya" gumam Maherza optimis akan memperpanjang nyawanya. Ia kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi, sampai-sampai tidak sadar telah tertidur di sofa.

-09112024

PunarjanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang