Bab 13: Madonna Lily

203 13 5
                                    

Lily putih memiliki cerita yang cukup membekas untuk Rasi. Bunga yang memiliki harum menawan itu seakan mampu membawa Rasi berkelana ke masa-masa SMA ketika ia masih memiliki Nigel di hidupnya. Dan pagi itu, Rasi kembali mengenang masa SMA-nya bersama Nigel yang juga menjadi pengantar ingatannya.

"Kenapa bawa bunga?" tanya Rasi saat duduk di kursi mobil Nigel. "Kenapa lily putih?"

"You like it," jawab Nigel.

"What if I don't like it anymore?"

"Aku bakal tetap ngasih kamu. Terserah mau kamu buang atau kamu simpan," balas Nigel dengan senyum manisnya, "Because you deserve this beautiful lily."

Setelah percakapan panjang semalam, Rasi memutuskan untuk tidak menjaga jarak dengan Nigel. Gadis itu membiarkan semuanya berjalan tanpa paksaan, termasuk pagi itu ketika Nigel menjemputnya dan memberikan Rasi buket bunga lily putih.

"Thanks," balas Rasi pada akhirnya.

Senyum tipis terbit di sudut bibir Nigel ketika perempuan yang duduk di sebelahnya tidak menolak bunga pemberiannya. Setidaknya Nigel tidak mendapatkan penolakan, dan itu adalah sebuah kemajuan untuk hubungannya dan Rasi.

"Hari ini kamu ada berapa matkul Ras?" tanya Nigel seraya mengemudikan mobilnya keluar dari area perumahan Rasi.

"Tiga matkul. Sampai jam tiga sore," jawab Rasi. "Kamu balik duluan aja nanti."

"Kenapa?"

Tatapan Rasi yang semula mengarah kepada buket bunga di tangannya kini mengarah kepada Nigel. Sudut alisnya terangkat, kebingungan karena pertanyaan kenapa yang dilontarkan oleh Nigel kepadanya.

"Emangnya kamu mau nunggu aku sampai selesai matkul?" tanya Rasi, masih dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Iya. Aku tungguin. Nanti aku kena pukul Bang Andreas kalau biarin kamu pulang sendirian," jawab Nigel dengan suaranya yang terdengar luar biasa lembut.

"Jadi alasannya biar nggak dipukul Kak Andreas?"

Nigel mengalihkan tatapannya sejenak ke arah Rasi dan tertawa kecil menanggapi pertanyaan bernada manja dari gadis di sebelahnya. Tingkah Rasi sekarang mengingatkan Nigel kepada gadis itu ketika mereka masih berpacaran di bangku SMA.

"Itu alasan subsidairnya, Rasi. Alasan primairnya karena aku nggak mungkin biarin kamu pulang sendirian. Khawatir tau," jelas Nigel.

"Sok pakai primair subsidair," celetuk Rasi.

"Kamu udah pernah belajar bikin dakwaan belum, Ras? Ada tuh, jenis dakwaan subsidaritas. Intinya dakwaannya itu disusun dari tindak pidana yang terberat sampai tindak pidana paling ringan. Yang terberat itu namanya primair, pokok, utama. Kalau...

"Kamu lagi ngasih aku kuliah tiga SKS?" Rasi langsung memotong ucapan Nigel dengan bibir mengerucut kesal.

"Sekalian belajar. Biar kalau ditanya dosen, kamu bisa jawab," balas Nigel. Tangannya secara otomatis mengusap halus puncak kepala Rasi.

Gadis itu membeku. Detak jantungnya berpacu semakin cepat ketika telapak tangan yang terasa hangat itu mengusap rambutnya. Gerakan sederhana yang dilakukan oleh Nigel berhasil membuat seluruh saraf di tubuh Rasi kehilangan fungsinya.

Selama beberapa saat keduanya terdiam dengan suasana yang berubah canggung. Nigel yang tidak bisa menahan keinginan dirinya untuk mengacak rambut Rasi seketika menyadari perubahan ekspresi gadis di sebelahnya. Gadisnya itu terlihat tidak nyaman.

"Maaf, Ras. Aku nggak sengaja," ujar Nigel.

"Terus kalau dakwaannya nggak terbukti, gimana dong?" Daripada menanggapi permintaan maaf Nigel, Rasi memilih mengalihkan pembicaraan mereka.

"Yaa... bisa aja terdakwanya diputus bebas." Nigel juga memilih untuk mengikuti alur pembicaraan Rasi. "Kamu tertarik jadi jaksa, Ras?"

Rasi tidak langsung menjawab, melainkan mengarahkan pandangannya ke bunga lily putih yang masih ia genggam erat. Tatapan gadis itu terlihat menerawang, seakan pertanyaan Nigel terlalu sulit untuk ia jawab.

Jika Nigel sudah memiliki proyeksi yang sangat jelas mengenai masa depannya setelah lulus kuliah, maka Rasi sebaliknya. Bayangan masa depan setelah ia mendapatkan gelar sarjana hukum masih terlalu kabur, abstrak, dan berantakan. Rasi tidak tahu kemana tujuannya akan berlabuh.

"Nggak tau," jawab Rasi diakhiri dengan helaan napas kecil. "Belum kepikiran mau jadi apa."

"Kenapa gitu? Karena nggak ada yang kamu jadiin role model?" balas Nigel, sepenuhnya penasaran.

Rasi menggeleng kecil, menandakan bahwa bukan itu alasannya. "Role modelku Kak Andreas. He is a great lawyer, as you know. Tapi aku nggak bisa lihat masa depanku secerah dan setrukstur kayak Kak Andreas."

"Kan belum kamu coba, Ras. Kak Andreas juga nggak jadi lawyer secara instan, kan? Pasti dia juga kesusahan sampai akhirnya dia berhasil kayak sekarang," tanggap Nigel sesekali melirik ke arah Rasi yang masih menatap ke arah bunga lily pemberiannya.

"Aku masih belum punya pilihan sampai sekarang. Mungkin bakal aku pikirin nanti," ujar Rasi pada akhirnya.

"Its okay, Rasi. Kamu nggak perlu buru-buru, kok. Nggak ada yang ngejar kamu di hidup ini, kan? Take it slow because it is your life and you have control of your own choice."

Percakapan di mobil pagi itu terpaksa terhenti ketika gerbang kampus mereka terlihat dari ujung jalan. Sekali lagi, Rasi menatap bunga lily di genggamannya dan menoleh ke arah Nigel yang masih fokus menyetir. Detik itu juga Rasi menyadari bahwa bunga lily dan laki-laki di sebelahnya memiliki makna yang sama hebat untuknya.

()

Pesan dari Andreas memenuhi notifikasi ponselnya. Tujuh pesan beruntun menandakan bahwa kakak laki-lakinya itu sejak tadi mengkhawatirkan dirinya yang tidak sempat mengecek handphone karena fokus mendnegarkan penjelasan dosen.

Kak Gemintang Andreas

Kamu udah sampai kampus?

Kenapa nggak ngabarin aku kalau udah otw?

Nigel nggak macem-macem kan?

Kabarin aku kalau udah sampai kampus.

Kamu kemana? Beneran udah di kampus?

Rasi, answer my text.

Missed voice call.

Rasi seakan bisa merasakan kepanikan Andreas saatt membaca pesan beruntun itu. Kakaknya pasti panik karena ini adalah pertama kali Rasi tidak membalas pesan dalam kurun waktu hitungan jam.

"Selamat siang Bapak Gemintang," ujar Rasi ketika teleponnya terhubung dengan Andreas.

"Kamu kemana aja? Kenapa nggak ngabarin aku kalau udah sampai? Aku sampai chat Nigel buat mastiin kamu udah sampai di kampus."

Rasi tertawa pelan mendengar pertanyaan beruntun yang dilontarkan oleh Andreas. Laki-laki itu pasti masih panik di seberang telepon.

"Tenang, kakak. Tadi aku ga sempat ngabarin karena udah keburu ada dosen. Kamu nggak mau kan kalau aku nggak serius di kelas?" Rasi membalas dengan tawa kecil yang tersisa.

"Jangan kebiasaan kayak gitu, Ras. Kamu sendirian disini. Kalau kamu kenapa-kenapa, aku yang bakal ngerasa paling bersalah."

"Iya, Kak Andreas. Aku nggak kenapa-kenapa, kok. Ini bentar lagi mau makan di kantin," balas Rasi. "Aku matiin telfonnya ya. Kakak lanjut kerja aja."

"Nanti kalau ada apa-apa, telfon aku. Nggak ada alasan kamu nggak ngasi aku kabar lagi kayak tadi."

Setelah beberapa kali perdebatan kecil, akhirnya Andreas memutuskan sambungan telfonnya dengan Rasi. Secara otomatis, Rasi langsung mengembuskan nafas lega. Ternyata melihat kakaknya marah meskipun hanya lewat telepon membuatnya ketakutan.

Rasi menghela nafas. Ia menyayangi Andreas. Sangat.

()

perjalanan masih sangat panjaaaang guys ;)

jangan lupa vote dan komen yaaa

Turning PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang