Cinta Buta

2.2K 78 3
                                    

Dan tiba-tiba saja seperti badai Katrina yang datang tanpa pemberitahuan, mulut Sherin sahabat karibku memuntahkan sumpah serapah yang cukup membuat teman-teman yang baru masuk ke kelas pagi itu membelalakkan mata mendengar suara lantangnya.

“Sumpah, Jov. Gue yakin mata gue nggak salah. Cowok yang gandengan mesra di mal kemarin itu memang Revo, cowok lo! Dasar PHP!”

Aku memandangnya dengan tenang sebelum berkata kalem, “Kacamata lo dipakai kan waktu itu?”

Sherin lantas menatapku dengan muka memerah, pantatnya saja belum sempat dihempaskannya ke kursi tapi dia malah menggebrak meja.

“Sekali dua kali itu khilaf, tapi lebih dari itu namanya error! Cinta boleh buta tapi seenggaknya telinga lo nggak tuli, kan? Heran gue, nggak nyangka Jovita sahabat gue senaif itu!”

Sambil membanting tasnya ke atas meja, Sherin kabur dan meninggalkanku sendiri di dalam kelas.

***

            “Beraninya kaumasuk ke rumah ini lagi!”

            Bentakan sangar itu muncul dari bibir wanita tua yang seluruh helaian rambutnya sudah terselubung warna putih keperakan sempurna.

            “Nenek...,” sapaku lirih, ragu untuk mengambil jarak lebih dekat sehingga aku bisa mencium tangan keriputnya seperti pesan ayah.

            “Jangan pernah panggil aku seperti itu lagi. Kau-bukan-cucuku!” Caranya memenggal kata perkata dari kalimat terakhir sontak merenggut nyaliku.

            “Ta-tapi...”

            “Kau dan ibumu, kalian berdua sama saja. Pengkhianat tidak punya tempat di rumah ini!”

            Aku diam bergeming. Kali ini gravitasi bumi mengunci tubuhku, membuatnya mati rasa. Wanita ini, apa benar dia nenekku?

***

Tidak terhitung berapa kali sudah aku bertanya-tanya sebegitu beratnyakah terlahir dari rahim seorang pengkhianat cinta seperti mama. Kalau saja bisa menentukan sendiri, aku ingin terlahir dalam keluarga utuh bahagia semanis tayangan iklan keluarga berencana dan bukannya menjadi produk ‘broken home’ layaknya kisah sinetron. Ketika berusia lima tahun, Mama pergi meninggalkan rumah karena terpikat laki-laki lain. Tak lama berselang ayah menikah dengan wanita lain pilihan ibunya.

Menurut cerita yang kudengar, pernikahan orangtuaku memang tidak disetujui oleh nenek. Ketika menikah lagi, mama bersikeras menitipkanku pada tante, adik mama satu-satunya. Namun, seminggu yang lalu tante meninggal dan ayah yang tinggal satu kota denganku datang menjemput. Cuma ayah yang kumiliki sekarang karena mama sudah pindah ke luar negeri bersama suaminya. Itu sebabnya aku harus kembali ke rumah tempat aku pernah menghabiskan masa kecilku dulu. Rumah ayahku.

            “Sabar ya, Jov. Nenek kamu cuma perlu mengenalmu lebih dalam lagi supaya beliau tahu kalau kamu itu anaknya so sweet banget.”

            Itu adalah kata-kata penghiburan yang diucapkan Revo ketika aku menceritakan semua keruwetan yang menyelubungi hidupku. Aku bersyukur karena tidak perlu pindah sekolah juga ketika harus kembali ke rumah ayah karena kalau ya aku pasti tidak bisa bertemu pacarku lagi di sekolah. Selain Sherin, Revo adalah tempatku berkeluh kesah, terutama mengenai nenek yang tak kunjung menerimaku sebagai cucunya.

            Kami mulai berpacaran setahun yang lalu, ketika aku baru masuk SMA. Sebenarnya kami berasal dari SMP yang sama dan Revo bilang dia sudah lama naksir padaku hanya saja dia baru berani mengungkapkannya ketika kami sudah sama-sama berseragam putih abu-abu. Dia baik dan manis, namun yang paling membuat jantungku berdebar adalah kepiawaiannya di lapangan basket. Ya, Revo adalah bintang basket yang digilai sejak SMP dan begitu dia masuk SMA, penggemarnya bertambah. Walaupun sejujurnya aku memilih Revo karena hatiku merasa nyaman saat bersamanya, tapi tetap saja, menjadi pacar seorang idola adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagiku. Cewek mana sih yang tidak merasa begitu?

***

            “Sherin itu salah lihat, Jov. Kemarin aku latihan basket sama teman-teman. Kalau nggak percaya kamu bisa tanya mereka, kok!”

            Revo menatapku lekat-lekat. Selama sepersekian detik aku merasa menangkap kilasan berbeda di matanya tapi dengan cepat kutepiskan perasaan itu. Ah, aku pasti berpikir yang tidak-tidak karena mendengar cerita Sherin.

            “Nggak perlu, Rev. Aku percaya sama kamu,” putusku pada akhirnya.

            “Aku tahu, Sayang. Kamu sadar kan kalau aku nggak akan pernah mengkhianati hubungan kita ini? Aku sayang banget sama kamu, Jov. Aku janji bakal selalu setia.”

            Aku mengangguk perlahan.

            Revo tersenyum dengan ekspresi lega lantas mengusap rambutku. “Terima kasih, Jov. Kamu juga janji bakal setia padaku, ya. Kamu nggak ingin dianggap sama seperti mamamu oleh nenek, kan? Nenekmu harus tahu kalau kamu itu beda supaya beliau bisa menerimamu, Jov.”

            Kali ini Revo menarik kepalaku ke dadanya dan meletakkan dagu di puncaknya.

            Aku sudah lama tahu itu benar. Aku harus bisa menunjukkan pada nenek bahwa aku bukanlah wanita pengkhianat seperti mamaku yang kabur dengan laki-laki lain. Bukan hanya demi mendapatkan nenek, tapi juga demi membuktikan kepada diriku sendiri. Bukti bahwa aku bukan perempuan seperti mama.

            “Pasti, Rev. Aku janji akan selalu setia sama kamu. Sampai kapanpun dan bagaimanapun.”

***

            “Pokoknya lo harus sampai di sini dalam waktu setengah jam. Kalau nggak gue bakal pecat lo sebagai sahabat!”

            Aku tersenyum sambil mengingat-ingat kata-kata Sherin di telepon sebelumnya. Malam ini dia ngotot memintaku datang ke bioskop yang ada di sebuah mal terdekat.

            “Sabar ya, Jov. Film di teater satu mulai lima menit lagi,” ujar Sherin begitu aku muncul.

            “Asyiiik! Film apa nih?” Aku mencoba menoleh kanan kiri mencari tahu judul film yang akan kami tonton malam itu.

            “Ada deh.” Sherin mengedipkan sebelah mata, jail.

            Dan lima menit kemudian, tubuhku mendadak kaku. Aku melihat sesosok tubuh yang begitu familiar di mataku sedang bercanda dengan seorang gadis cantik berambut panjang. Sesekali tangannya melingkari pinggang si cewek.

            Revo!

            “Ini filmnya, Jov. Sori banget, tapi cuma ini cara satu-satunya biar lo sadar siapa Revo.” Sherin menatapku sedih sambil memegang sebelah lenganku.

              Aku mengerjapkan mata yang tiba-tiba terasa pedas. Itu memang Revo. Cara berjalan, tertawa, dan merangkul. Seharusnya aku yang ada di sebelahnya dan bukan gadis itu.

            “Labrak, Jov!”

Aku tersenyum sambil memandang Sherin lantas menggeleng yakin.

“Itu bukan Revo. Dia bilang sedang bantu adiknya bikin PR malam ini.”

“A-Apa?” Tak kuhiraukan wajah Sherin yang pucat setengah mati.

Tiba-tiba aku teringat pada janji kami berdua, pada wajah mama yang kukenal lewat foto usang dalam album, dan wajah nenek,perempuan tua yang konservatif dan beranggapan bahwa aku dan mama adalah orang yang sama hanya karena kemiripan wajah kami berdua.

Kesetiaan itu, terlalu dalam maknanya bagiku.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now