Aku sedang melamun, menatap buliran hujan yang turun melalui jendela mobil. Jalanan sudah gelap, tetapi masih banyak orang yang berlalu-lalang. Aku menghela napas pelan, entah harus merasa senang atau takut, karena sudah boleh keluar dari rumah sakit setelah tiga hari dirawat di sana.
"Kak, lo baru sembuh. Jangan cari gara-gara lagi, deh."
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lelaki yang duduk di bangku depan. El menatapku dengan tatapan jengah.
"Kenapa?" tanyaku.
"Jangan nyampe abis sakit, malah lanjut kesurupan," jawabnya.
Aku yang mendengar ucapannya, langsung mencubit lengannya. "Kalo ngomong dijaga."
"Aw ... sakit, Kak!" ringisnya.
"Belle, El, berenti berantem. Mama pusing dengernya," ujar mama yang sedang fokus menyetir.
Aku mendengus, terpaksa melepaskan cubitan di lengan El, menyebabkan bekas kemerahan di sana. Aku lebih memilih kembali melihat keluar jendela, kali ini aku tidak melamun.
"Lo kenapa, sih, seneng banget cubit sama pukul gue? Udah kayak pelaku kekerasan tau gak?"
Aku terkejut mendengar ucapan El, aku tahu dia hanya bercanda, tapi aku tidak berharap dia mengucapkan kata yang sangat kubenci. "El, maaf," bisikku.
El langsung menatapku tak percaya. "Kak? Sumpah? Lo minta maaf ke gue?"
"Iya, sekarang lo diem, atau gue lempar keluar!"
"Dih, lo aja sini gue tendang!"
"Gak boleh songong sama yang lebih tua!"
"Siap, Nek."
"Apa lo bilang? Gila lo!"
El membuka mulutnya, ingin membalas ucapanku, tetapi tidak jadi karena mama tiba-tiba menghentikan mobilnya. "Kenapa, Ma?" tanya El.
"Kalian mau diem, atau mama turunin di tengah jalan?" desis mama.
Mama berhasil membuatku dan El langsung diam, dan duduk dengan tenang. Mama sendiri kembali melajukan mobilnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 21.10, kami yang baru saja tiba di rumah langsung turun dari mobil. Aku sendiri ingin cepat-cepat makan.
"El, mama mau beresin kamar kakakmu dulu, kamu siapin air panas buat mandi, ya," ucap mama kepada Elvian.
"Iya, Ma," jawab El, yang berjalan sambil memainkan ponselnya.
Aku baru saja ingin membuka pintu rumah, sebelum akhirnya pintu terbuka dari dalam, memperlihatkan seorang wanita paruh baya yang mengenakan kaus lengan panjang dengan hijab bergo.
"Belle, udah sembuh, ya?" tanya wanita itu.
Aku tersenyum lebar. "Eh, iya bude ... Belle udah boleh pulang," ucapku, lalu memeluk bude.
"Bude masak tumisan cumi kesukaan kamu, makan dulu, ya?"
Aku yang mendengar ucapan bude langsung melepas pelukanku, dan berlari kecil ke ruang makan yang ada di bagian belakang rumah dengan mata berbinar. Aku sangat menantikan hal ini, mengingat saat dirawat di rumah sakit, aku hanya memakan makanan hambar.
"Belle, bude pulang sekarang, ya," kata bude dari depan, dengan suara yang sedikit keras.
"Iya, Bude," jawabku.
Bude adalah pembantu rumah tangga keluargaku. Kata mama, beliau sudah bekerja di sini sejak aku masih berusia dua tahun. Sepertinya saat ini umur bude sudah hampir lima puluh tahun. Tugas bude sekarang ini sebenarnya hanya masak dan membersihkan ruangan di lantai bawah, namun seringkali, beliau membantu pekerjaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Zavian
Teen FictionUntukmu, lelaki pemilik tatapan sedalam samudera dan senyuman sehangat mentari. Aku tak pernah lupa dengan awal pertemuan kita yang kurang baik, rasanya saat itu aku baru saja mengalami bencana besar. Sampai pada akhirnya takdir kembali mempertemuka...