Kursi kayu panjang yang Dea duduki di koridor kantor polisi terasa tak nyaman sementara dia menunggu Sari menemui Deni, si pencuri di ruang besuk kantor polisi.
Entah apa yang keduanya tengah perbincangkan. Dea ingin sekali bergabung dan mengetahui semuanya, tapi dia takut kena omel Sari. Apalagi Sari sedang mode misterius, gabungan antara sedang berpikir keras dan tidak mau diganggu.
Padahal sejak awal Dea-lah yang membantu Sari agar dapat menemui Deni, tapi dia juga yang dilarang untuk masuk oleh Sari.
Dasar Sari kampret.
•••••
Sari percaya dirinya memiliki ingatan yang sangat kuat, dia bisa mengenali wajah oranglain dimanapun dan kapanpun hanya dengan melihat wajahnya sekali. Dan kali ini, ia yakin pernah bertemu dengan Deni di toko kelontong saat pria itu datang untuk membeli minyak dan beras bersama putri kecilnya yang sangat imut. Namun sepertinya Deni tidak mengingat pertemuan itu. Karena ketika akhirnya bertatap muka dengan Sari di ruangan itu, hal pertama yang Deni tanyakan adalah, “Kamu siapa?”
Jujur saja Sari kecewa Deni tidak mengingatnya, namun tahu kekecewaan tidak dibutuhkan saat ini maka dengan enteng Sari melupakan kekecewaannya itu dan kemudian tersenyum tipis. “Nama saya Sari.”
“Mau apa ketemu saya?”
“Saya mau tahu sedikit tentang pencurian yang Kang Deni lakukan di rumah Ina.”
Lewat raut muka Deni setelah itu, Sari tahu pria itu sama sekali tidak girang mendengar nama dan tujuannya datang. Alih-alih, Deni kelihatannya muak.
“Apa yang saya ketahui tentang malam itu sudah saya katakan semuanya pada polisi, jadi kalau mau tahu sesuatu tanya polisi saja sana, dan jangan ganggu saya.”
Sari menduga ada banyak orang yang datang menemui Deni sebelum ini dengan tujuan yang sama sehingga dia sudah hafal betul.
“Tenang dulu Kang. Saya bukan mau ganggu Kang Deni sedikitpun.”
“Kamu datang saja sudah menganggu namanya.”
Sari tertawa hambar. “Emangnya Kang Deni lagi ngapain dibalik jeruji itu sampai gak boleh diganggu siapapun? Lagi ber-semedi kah?”
“Jangan banyak omong. Langsung saja katakan apa yang kamu inginkan dari saya.”
“Ketidaksabaran Kang Deni buat balik ke sel benar-benar patut diacungi jempol,” kata Sari sembari terkikik geli. “Saya kasih tahu ya Kang, jadi orang tuh harus sabar, karena kadang kalau kita sabar hal baik mendatangi kita sedangkan kalau kita tidak sabaran yang ada malah terkena hal buruk nantinya.”
“Apa maksud kamu?!” Kang Deni tak bisa lagi menahan diri dan akhirnya meningkatkan volume suaranya terlalu tinggi sehingga seorang anggota kepolisian yang berjaga, membuka pintu kemudian untuk memberi peringatan agar dia tidak ribut.
Begitu pintu kembali polisi itu tutup, Sari berkata, “Nahkan. Apa saya bilang.”
Deni menahan napasnya panjang beberapa detik lalu menyemburkannya bersama dengan ketidaksabarannya. Deni menduga perempuan di seberang meja itu didatangkan Tuhan memang untuk menguji kesabarannya.
Ketika kembali bersuara, suara Deni pun jadi lebih lembut. “Memangnya kenapa saya harus mau membantu kamu?”
“Karena Kang Deni itu semacam saksi kunci. Siapa tahu, berkat Kang Deni, Ina bisa mendapatkan keadilan.”
Kang Deni sedikit tidak percaya dengan iming-iming yang Sari tawarka. Namun di saat yang sama Deni berpikir tidak ada salahnya mencoba, jadi dia pun bertanya, “Saya mendengarkan dengan sabar. Sekarang katakan apa dan bagaimana saya bisa membantu kamu?”
“Saya mau Kang Deni mengingat detail.”
Dahi Deni berkerut samar. “Detail apa?”
“Detail penampakan rumah Bu Nia di malam kematian Ina. Bisa?”
“Untuk apa?”
“Bisa atau tidak?” Sari kekeh pada pertanyaannya dan mengabaikan pertanyaan balik Deni.
“Mungkin bisa.”
Deni sebenarnya tak yakin dengan apa yang ucapannya sendiri, tetapi bagi Sari, jawaban itu sudah cukup untuknya terus melangkah. Karena mungkin bisa, adalah sama dengan bisa namun tidak langsung bisa, berarti harus berusaha terlebih dahulu.
Sari melipat tangannya di atas meja. Senyum di bibirnya lenyap. Tatapannya terkunci hanya pada Deni.
“Kalau begitu jawab pertanyaan saya ini,” kata Sari yang mulai teramat sangat serius sehingga Kang Deni merasa perempuan yang ia temui saat pertama kali masuk ke ruangan ini tadi berbeda dengan yang sekarang menanyainya. “Jam berapa Kang Deni masuk ke rumah Bu Nia?”
“Setengah tiga kurang lebih.”
“Lewat mana, jendela atau pintu?”
“Jendela.”
“Lebih detail, jendela di mana? Kamar atau ruang tamu?”
“Jendela ruang tamu.”
“Ada apa di ruang tamu itu saat Kang Deni tiba? Sebutkan semua yang akang lihat.”
Pada tahap ini Deni mulai berpikir keras. “Sofa, meja, koran….”
“Koran di mana?”
“Di atas meja.”
Sari mengangguk dan seolah mengerti, Deni melanjutkan. “Gorden….”
“Warna apa gordennya?”
“Warna… putih.”
“Oke. Lanjut.”
“Hanya itu yang ada di ruang tamu. Haruskah saya sebutkan jumlah batu yang jadi dindingnya juga?”
“Oh, boleh. Kalau memang Kang Deni bisa.”
Deni mendesah, tentu saja dia tidak bisa melakukannya.
“Kalau begitu lanjutkan. Kemana Kang Deni selan….”
“Tunggu dulu, ada satu hal lagi di ruang tamu saat itu,” kata Kang Deni yang tiba-tiba memotong kalimat Sari.
“Apa?”
“Nah itu dia. Saya kurang yakin karena hanya meliriknya sebentar. Benda itu berkilau dan memantulkan cahaya lampu teras yang menyala.”
“Kaca?”
“Saya tidak tahu.”
Setelah itu, Deni menyebutkan apa saja yang dilihatnya saat memasuki kamar Ina dan Bu Nia. Semuanya. Namun, Sari, tak begitu fokus lagi mendengarkan. Pemikirannya seolah berada di tempat lain.
Tepat sebelum jam besuknya berakhir, dan pertemuan itu harus diakhiri. Deni melontarkan pertanyaan terakhir, “Kamu detektif ?”
Sari tertawa lepas, nada suaranya ketika menanggapi terdengar begitu ceria. “Kang, saya sahabat Ina, dan saya cuma mau orang yang membunuh dia segera tertangkap dan diadili, secepatnya. Apapun nama untuk melakukan hal itu saya tidak peduli karena tidak penting juga kan?”
•••••
Setelah meninggalkan kantor polisi. Sari dan Dea menyempatkan untuk singgah di TKP tempat ditemukannya Ina. Mereka berdua berdiri berdampingan di pinggir jalan, tepat dibelakang garis batas kuning yang dibentangkan oleh polisi beberapa hari yang lalu.
“Jadi maksudmu, Ina tidak dibunuh di tempat ini, tapi di rumahnya sendiri?”
Tanpa suara Sari mengiyakan dengan mengangguk.
“Jadi pertanyaannya sekarang bertambah, siapa yang membunuh Ina dan bawa dikemari?”
Sari benar-benar ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada Ina sampai dia berakhir di tempat ini?
•••••
Makin penasaran gak? Stay tuned yaw, dari chapter ke chapter kita akan mengungkapkan segalanya.
•
•
•
•
•
> SEE YOU NEXT CHAPTER <
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Tali Pocong Perawan
Mystery / ThrillerCinta ditolak dukun pun bertindak. Kalimat itu mewakili Sari yang sudah muak ditolak oleh Tono, lelaki yang disukainya dan kemudian mendatangi seorang dukun guna mendapatkan pelet. Syarat pelet tersebut adalah Sari harus mendapatkan tali kain kafan...