“Aku kasih waktu tiga hari atau kita putus!”
Seperti fatwa para ulama garis keras, kata-kata Wiya menghajar gendang telingaku, mengirimkan sinyal kepada otak yang menghasilkan respon detak jantung yang berdebar lebih keras dan mata yang melebar.
“Kita baru sebulan jadian, Wi. Masa cuma karena aku…”
“Kamu bilang cuma, Ga?” potong Wiya cepat, “aneh ya, kenapa justru yang cuma itu yang sulit kamu lakukan!” sergahnya lagi sambil menyelipkan selarik sarkasme dalam nada suaranya.
“Apa nggak cukup semua yang selama ini aku lakukan ke kamu? Masa kamu nggak bisa mengartikan semua itu, Wi?”
“Nggak, Ga.” Wiya menatap mataku lekat-lekat, “tindakan dan kata cinta dari kamu. Aku butuh keduanya untuk merasa yakin,” ujarnya dengan nada berbeda kali ini, lebih lembut dan seperti ada pengharapan di sana.
“A-Aku…”
“Tiga hari, Ga. Cuma selama itu aku bisa toleransi ke kamu,” katanya tegas sebelum berlalu dari hadapanku.
Dengan gontai aku berbalik menuju skuter antik merah warisan ayahku, pulang ke kos-an.
***
Malam minggu, dan malangnya aku hanya duduk melamun di teras rumah kos yang sudah kutinggali sejak masih kuliah hingga lulus dan mendapat pekerjaan setahun yang lalu.
“Hoy, Bodat! Tumben-tumbenan kau tak ngapel? Tak marah rupanya nanti Komandan Wiya sama kau?” Gelegar suara Bang Lambok teman kos yang tenar dengan logat Medan-nya itu nyaris membuatku terjengkang kaget.
Aku lantas tertawa masam. Pikiranku yang tersita oleh ultimatum Wiya membuatku tak menyadari kalau makhluk dengan cap mahasiswa abadi di dahinya macam Bang Lambok sudah lebih dulu ada di halaman untuk mencuci motor bebeknya.
“Lagi libur, Bang.” Aku menyahut sekenanya.
“Libur atau libur? Bertengkar kelien rupanya? Itulah kau, pacaran sama anak abege kuliahan. Macam itulah resikonya!”
Aku tersenyum mendengarnya lantas mendekat ke arah seniorku yang konon kabarnya sudah akan sidang skripsi bulan depan itu.
“Kalau kuceritakan, Abang mau dengar?” ujarku sambil duduk bersila beralaskan sandal tak jauh darinya. Entah kenapa, tapi aku sedikit berharap si nyentrik ini mungkin bisa membantuku.
Bang Lambok mengangguk. Lantas meluncurlah cerita dari bibirku tentang aku dan Wiya. Tentang kami yang memutuskan untuk berpacaran sebulan setelah berkenalan. Tentang aku yang selalu berusaha hadir untuknya, memberikan perhatian, menemaninya makan siang, ke acara kawinan, ke toko buku, termasuk antar jemput ke kampus bila memungkinkan di sela-sela kesibukanku sebagai karyawan. Dan tentang Wiya yang kemudian ngotot memaksaku mengucapkan cinta padanya kalau tidak ingin putus.
“Ya sudah. Apa susahnya? Tinggal bilang ‘aku cinta kau, Wiya’ bereslah itu!” sahut Bang Lambok di sela-sela bunyi air dari selang yang disemprotkannya ke body motor.
“Masalahnya, Bang. Aku nggak bisa.”
“Kenapa? Kau bukan homo, kan? Oh, aku ngerti. Otak kau itu sudah dibutakan oleh testoteron kau. Sudah tak bisa lagi kaubedakan mana cinta, mana nafsu,” berondong Bang Lambok, sok tahu.
“Abang bisa saja,” aku tersenyum kecut, “bukan karena itu. Aku cuma heran, kenapa dia masih menuntut kata-kata itu sementara yang kulakukan untuknya sudah lebih dari cukup untuk mewakili perasaanku.”
“Itu prasangka kau. Perempuan itu makhluk paling rumit, Bodat! Lagipula aku tak percaya kau tak bisa bilang cinta. Ayo coba kau bilang itu sekarang juga di hadapanku!” perintah Bang Lambok sambil menghentikan aktivitasnya.
Aku tersenyum lalu berkata, “Aku cinta kamu.”
“Nah, itu kaubisa!” teriak Bang Lambok gembira sambil menggosok si bebek lagi.
“Karena aku tak punya perasaan apa-apa sama Abang. Bagiku kata cinta itu sakral, Bang. Harus diucapkan benar-benar dari hati, bukan hanya karena ingin menyenangkan pacarku saja!”
Lagi-lagi Bang Lambok menghentikan pekerjaannya lantas menatapku.
“Suka kali aku sama prinsip kau itu. Menurutku, kau betul-betul cinta sama dia, cuma belum sadar saja. Makanya itu belum mampu kauucapkan.”
“Jadi aku harus bagaimana, Bang?”
Kali ini Bang Lambok mendekat dan berjongkok di hadapanku.
“Jujur, itu yang terbaik. Ikuti kata hati kau, Saga. Seandainya itu berakibat kau akan jadi jomblo lagi, paling tidak kau tak akan menyalahkan dirimu sendiri. Lagipula, tenang saja, kau masih punya teman jomblo yang lain,” dia menepuk dada dengan bangga, “aku,” sambungnya, lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Di balik tawa itu aku mencoba menyelami ucapan Bang Lambok. Sanggupkah aku?
***
Cuaca cukup sejuk. Angin laut berhembus kencang, menerpa rambut panjang sehalus sutra milik Wiya dan membuatnya berkibar seperti bendera di tengah lapangan. Kami tengah duduk berhadapan di salah satu kafe di pinggiran pantai, dengan dua buah kelapa muda yang berdiri mantap di atas meja, pasrah menunggu airnya disedot habis.
Cantik, desis hatiku sambil menatap gadis itu berulang kali. Dan suasananya benar-benar romantis. Benar-benar paradoks yang indah, mengingat mungkin sebentar lagi Wiya dan aku sudah tidak akan menyandang status sebagai kekasih.
“Jadi?” Wiya menatapku dengan pandangan menunggu.
Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya keras.
“Aku sudah banyak berpikir sejak hari itu dan sampai pada keputusan kalau aku…” Aku berhenti sejenak karena lidahku terasa kelu. “Aku nggak bisa, Wi. Setidaknya untuk saat ini. Aku baru bisa menunjukkannya melalui sikap dan perbuatanku padamu. Tapi kalau ternyata itu tidak cukup, aku ikhlas, Wi. Mungkin aku tidak pantas untukmu,” sambungku dengan nada pasrah.
Wiya menunduk, terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya mengangkat wajahnya kembali.
“Selamat, Saga. Kamu sudah lulus ujian dariku.”
Hah?! Ujian? Apa maksudnya?
“Seminggu yang lalu aku membaca artikel yang membahas sebuah penelitian. Ternyata hasil riset menunjukkan, kaum pria butuh minimal 97 hari untuk benar-benar menyadari bahwa dia mencintai kekasihnya untuk kemudian mengungkapkan perasaannya secara verbal.”
“Jadi?”
“Jadi aku hanya ingin tahu apakah kamu lelaki gombal atau tidak karena kita baru berkenalan selama dua bulan, masih kurang 37 hari lagi sebelum kamu benar-benar sadar. Jujur, kalau tadi kamu mengikuti permintaanku, maka saat ini kita pasti sudah putus.” Senyumnya menunjukkan kepuasan yang nyata.
“Kalau begitu, kita nggak jadi putus?” tanyaku setelah pulih dari kaget dan otakku sudah mampu mencerna kata-katanya dengan baik.
Wiya mengangguk, mengecup ringan pipiku lantas menggandeng tanganku. “Pulang, yuk!”
YOU ARE READING
Sophi's Music Box
Romanceadalah kumpulan cerita pendek milik starmadre. Kisah cinta bagaikan lantunan nada abadi yang terus mengalun hingga akhir masa. Mulai dari Adam dan Hawa, Shah Jehan dan Mumtaz Mahal, Rama dan Sinta, sampai Romeo dan Juliet. Simaklah baik-baik nada...