Bab 4

48 3 0
                                    

    Baru saja mobil berhenti di depan gerbang sekolah, baru saja Eron membuka pintu mobil, eh tahu-tahu Benz sudah berdiri – bersiap menyambutnya.

    Sebagai seorang cowok, tentu saja Eron jengah dengan sikap sok baik Benz. Dirinya serasa diperlakukan seperti pacar – dan sangat aneh. Teman pun tidak perhatian begini.

    Sebelum turun dari mobil, Eron mengucapkan terima kasih pada Pak Supir yang sudah mengantarkan mereka ke sekolah.

    “Aku bisa sendiri.” Eron menolak uluran tangan Benz.

    Aku akan mengantarmu sampai ke kelas.” Benz bersikeras.

    Mobil yang mengantar mereka meluncur pergi. Hanya ada mereka di depan gerbang sekolah.

    Pak Seno – penjaga sekolah menghampiri mereka. Semula Pak Seno menatap kesal pada kedua murid yang baru datang ini, kemudian wajah kesal Pak Seno melunak saat melihat pin bros lambang huruf A keemasan yang tersemat di seragam Benz, tentunya hanya dari kelas A yang boleh memakai pin bros itu.

    “Maaf, Pak, kita datang sekarang. Tadi ada sedikit kecelakaan.” Benz menunjuk ke benjol di dahi, lalu menunjuk ke kaki Eron yang diperban.

    “Kalian baik-baik saja, kan?” Pak Seno terlihat cemas.

    “Kami baik-baik saja,” sahut Benz dengan ramah dan terlihat nyaman berbohong.

    “Kalian kan, bisa absen.”

    “Hari ini kita ada ulangan, Pak. Sayang kalau absen.”

    “Ya ampun, kalian ini memang anak-anak pintar. Ayo, ayo, masuk!” Pak Seno membuka pintu gerbang dan menyilakan masuk kedua murid ini tanpa hambatan.

    Jikalau yang terlambat dari kelas buangan, tidak akan semudah ini prosesnya. Mereka akan ditahan dulu di pos penjaga, lalu ditanyai ini dan itu, terkadang diceramahi panjang-lebar sampai mengantuk, belum lagi hukuman yang menunggu. Tapiii... semuanya menjadi mudah ketika murid itu dari kelas unggulan. Selalu ada ketidak-adilan.

    “Bagaimana? Mau beralih ke kelas unggulan?” Benz refleks memegangi lengan Eron. “Aku bisa jadi mentormu.”

    “Kelas 2.11 sudah cukup.”

    “Banyak keuntungan di kelas unggulan.”

    “Bebannya terlalu berat. Otakku nggak sanggup.”

    “Kamu bisa masuk Kolegium Williams, artinya otakmu di atas murid-murid dari sekolah lain.”

    “Kebetulan nilai ujianku mencukupi.”

    Langkah Eron berhenti di undakan tangga, sebelum memasuki lobi sekolah. Ia berdiri menghadapi Benz dan Benz masih belum melepaskan lengannya. Mata mereka bersitatap dan Eron bisa melihat tatapan khawatir dari laki-laki di hadapannya ini.

    “Maaf, karena aku sudah membuat dahimu benjol. Tapi kamu juga sudah membuat kakiku begini. Anggap saja kita impas.” Eron melepas pandangannya dari Benz. Tatapan Benz membuatnya, entahlah, kedua pipinya tahu-tahu terasa panas. “Sekarang lepaskan tanganmu.”

    Eron bisa merasakan cengkeraman tangan Benz mengencang.

    “Benz?”

    Perlahan Benz melonggarkan cengkeramannya di lengan Eron, lalu melepaskan enggan.

    “Terima kasih sudah membantuku berjalan. Mulai dari sini aku akan berjalan sendiri.”

    Eron berjalan lebih dulu, tertatih namun tetap berusaha menyeret langkahnya. Jika saja Benz itu cewek, dengan segala kebaikan itu, mungkin saja saat ini ia sudah jatuh cinta padanya. Eron menoleh ke belakang dan ia melihat Benz masih berjalan mengikutinya.

🌈BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang