8

70 12 0
                                    

    Setelah mengalami insiden menegangkan di sekolah, Sing memutuskan untuk kembali ke Mension miliknya. Ia mendapat kabar bahwa orang tuanya akan pulang dari perjalanan mereka. Dalam hatinya, Sing berharap untuk disambut dengan pelukan kasih sayang dan perhatian yang selama ini ia rindukan. Namun, kenyataan tak selalu seindah harapan.

Setibanya di rumah, Sing disambut oleh suara pertengkaran kedua orang tuanya yang nyaring dan penuh emosi. "Aku tidak mau lagi hidup dalam kebohongan ini!" teriak sang ayah.

"Kalau kau tidak mau, maka pergi saja! Tapi ingat, anak ini adalah tanggung jawab ku!" balas sang ibu dengan nada yang sama marahnya.

Sing merasa hatinya hancur. Ia muak dan lelah dengan semua ini. Tanpa mempedulikan sapaan mamanya yang memanggil namanya, ia berlari menuju kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, Sing berusaha menenangkan diri, tetapi suara pertengkaran itu terus terdengar jelas di telinganya.

Dalam kesunyian kamar, ia mendengar percakapan orang tuanya yang lebih lanjut. “Kita harus memutuskan hubungan ini!” teriak ayahnya. “Aku berhak membawa Sing bersamaku. Dia adalah aset ku!”

“Dia bukan aset! Dia anak kita!” sang ibu berusaha mempertahankan haknya, tetapi nada suaranya menunjukkan betapa putus asanya ia.

Sing tertegun, hatinya terasa tertekan. Ia menyadari bahwa kedua orang tuanya tidak peduli padanya mereka hanya memperdebatkan siapa yang berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh neneknya. Sing merasa tidak berarti di dunia ini. Tidak ada yang menginginkan dirinya dengan tulus, hanya harta yang menjadi alasan.

Lalu, ingatan akan Zayyan muncul dalam pikirannya. Hanya Zayyan yang menerima dan menghargainya tanpa syarat. Hanya Zayyan yang memberinya rasa aman dan kasih sayang yang selama ini ia cari. Dengan tekad yang bulat, Sing memutuskan untuk mengambil langkah berani.

Ia segera mengemasi pakaiannya ke dalam tas, berusaha secepat mungkin. Setiap kali mendengar suara orang tuanya berdebat, hatinya semakin mantap. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan egois mereka. Saat Sing keluar dari kamar, ia melihat kedua orang tuanya masih bertengkar dengan emosi yang membara.

“Sing, kau mau ke mana, nak?” tanya sang mama dengan nada panik saat melihat putrinya membawa tas.

Sing tidak menjawab. Ia terus melangkah, menolak untuk terjebak dalam drama yang tidak ada habisnya. Ia membuka pintu rumah dan melangkah keluar, menutup babak kelam dalam hidupnya.

Dengan langkah pasti, Sing menuju Mension Zayyan. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, seolah ia membuang beban berat dari pundaknya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa di sana, di Mension Zayyan, ia akan menemukan tempat yang lebih baik, tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa tekanan dan tuntutan.

Setelah beberapa waktu, Sing akhirnya sampai di Mension. Ia mengetuk pintu dengan gugup, tetapi hatinya berdebar penuh harapan. Ketika pintu terbuka, bukan zayyan.

Sing tertegun ketika melihat pemuda yang membuka pintu Mension Zayyan. Dia tidak mengenalnya, dan pertanyaan langsung muncul di benaknya. Siapa dia? Kenapa ada di sini? Dengan ragu, Sing menatap pemuda itu.

“Eh, kau Sing kan?” pemuda itu bertanya, memecah keheningan.

“Ya, aku Sing. Siapa kau?” jawabnya, masih bingung.

“Perkenalkan, aku Gyumin, sepupu Zayyan. Zayyan menitip pesan padaku. Jika kau datang ke sini, dia meminta kau untuk tinggal saja,” jelas Gyumin dengan senyuman ramah.

Sing menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak usah. Aku pergi saja. Ngomong-ngomong, Zayyan kemana?” tanyanya, hatinya bergetar mendengar nama orang yang sangat ia rindukan.

“Zayyan sedang ada urusan karena salah satu kerabatnya sakit. Jadi, aku diminta menjaga Mension ini,” kata Gyumin, mencoba menenangkan Sing.

“Kalau begitu, aku pergi saja. Sampaikan pesan padaku jika Zayyan sudah kembali,” ucap Sing dengan nada yang kecewa, hatinya terasa berat.

“Baiklah, Sing. Akan aku sampaikan,” jawab Gyumin, meskipun ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan ekspresi wajah Sing.

Sing melangkah keluar dari Mension Zayyan, perasaannya campur aduk. Sekarang, dia bingung harus ke mana. Hanya Zayyan yang menjadi tempat pulangnya, tetapi sekarang Zayyan sedang tidak ada. Dengan langkah yang lesu, ia berjalan tanpa arah, berusaha menenangkan pikirannya.

Di luar, cuaca mendung dan awan gelap menggantung rendah. Tiba-tiba, hujan lebat mengguyur bumi. Namun, Sing tidak peduli. Ia terus melangkah, basah kuyup oleh air hujan yang jatuh dari langit. Setiap tetes air seolah mencerminkan rasa sakit di hatinya akibat pertengkaran kedua orang tuanya.

Hujan yang deras membuat jalanan menjadi sepi, dan Sing merasa kesepian semakin menyelimuti dirinya. Dia berjalan di trotoar yang basah, membiarkan air mata dan air hujan bercampur tanpa ada yang peduli. Di dalam pikirannya, terbayang semua kenangan pahit di rumah, pertengkaran yang tiada henti, dan perasaan terabaikan.

“Kenapa hidupku selalu seperti ini?” gumamnya sambil terus melangkah. “Apakah tidak ada tempat yang bisa kutuju selain kesedihan ini?”

Sing mengingat kembali saat-saat bersamanya dengan Zayyan. Betapa Zayyan selalu bisa membuatnya tersenyum, betapa Zayyan selalu ada saat ia membutuhkannya. Namun, saat ini, Zayyan tidak ada di sampingnya. Rasa kehilangan itu membuatnya semakin terpuruk.

Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat. Ia merasa seolah terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Hujan terus mengguyur, dan Sing merasa seolah ia berjalan menuju kegelapan yang tak berujung.

Hingga akhirnya, Sing tidak tahan lagi. Ia berhenti di tengah jalan, menatap langit kelabu yang meneteskan air dari awan. “Aku tidak mau seperti ini,” ucapnya lirih, berusaha mengumpulkan kekuatan dalam dirinya.

Mungkin, ia bisa mencari Zayyan di tempat lain. Mungkin, ia bisa menemukan harapan di tempat yang berbeda. Dengan tekad yang baru, Sing memutuskan untuk melanjutkan langkahnya. Ia tidak akan membiarkan kesedihan mendominasi hidupnya.

Dengan semangat yang sedikit kembali, Sing mulai berjalan, menembus hujan yang belum reda. Dia akan menemukan Zayyan, dan berharap bisa menemukan pelukan hangat yang selama ini ia rindukan. Hujan tidak akan menghentikan niatnya untuk mencari kebahagiaan, bahkan jika itu berarti harus berjuang sendirian.

Dan di balik awan kelabu, Sing berharap bahwa ada pelangi menanti di ujung perjalanan ini.




happy Reading 🥰🔥

different world ( xodiac sing zayyan )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang